Friday, November 24, 2006

Yogyakarta: Ibukota Komik

Oleh Nunuk Ambarwati
Catatan dari hasil diskusi, Kamis, 23 November 2006 (atau rapat = Samuel Indratma menyebutnya demikian) dari event pameran (19-24 November 2006) dan launching buku ‘Jogja in Comic’ di Taman Budaya Yogyakarta. Bukunya sendiri dijual seharga Rp 10.000,- berisi komik-komik hasil dari kompetisi komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta dengan tema yang sama, ‘Jogja in Comic’. Untuk lebih jelasnya, baca juga tulisan pengantar dari St. Sunardi, yang saya sertakan pula dalam tulisan ini.
Dyan Anggraini: Kita bersyukur punya temen-temen seperti Samuel Indratma dan Wahyudin. Ternyata ide-ide kreatifnya sangat memperkaya dan bisa dilakukan dengan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Bagaimana Yogyakarta dibaca melalui komik adalah program komik TBY sejak tahun lalu. Ide awal yang tidak hanya berhenti pada satu kegiatan, karena rupanya dengan komik kita bisa membaca apa saja dan lebih mengena. Respon positif banyak muncul, bahwa memaknai komik selama ini banyak lapisan masyarakat merupakan satu hal strategis sebagai media publikasi. Bagaimana komik tidak hanya dimaknai sebagai media hiburan. Dan komik perlu diapresiasi. Mudah-mudahan bisa berkelanjutan dan tidak boleh berhenti sampai di sini saja. Adalah Nursyam, Wahyudin dan Samuel Indratma yang merupakan satu tim di ‘Nendang dan Kena’.
Samuel Indratma: Harapannya sebenarnya enaknya rapat, karena kalo diskusi menjadi tidak efektif, mungkin perlu dibuat kebudayaan rapat kebudayaan berkala J Peristiwa ini menjadi salah satu trigger saja dan bisa melompat menjadi banyak hal.
Wahyudin: Beberapa hal yang berhubungan dengan keberadaan dan keberlangsungan ‘Jogja in Comic’ yang sedang dipamerkan di TBY. Lima (5) karya yang dipamerkan di tempat ini merupakan hasil dari kompetisi ‘Jogja in Comic’ yang digagas TBY dan di-back up secara kolaboratif bersama Urban Piktorial (UP). Kebetulan UP punya perhatian yang sama mengenai perubahan dan perkembangan di Yogya dengan perspektif komik. Kenapa komik? Dimana komik juga merupakan budaya visual. Menimbang keberadaan komik sebagai bahasa komunikasi dan bahasa rupa, yg selama ini dianggap sebagai karya kelas kedua, marjinal, atau karya kelas kambing seperti ikon yang dipakai untuk event ini, khususnya dengan konteks di Yogya. Menimbang hal itu kita bersama-sama mencoba menggagas satu event yang nantinya kita harapkan bisa berkembang dengan respon dari temen-temen, tidak hanya komik, tapi juga temen-temen sastra, ilmu sosial. Dengan pengertian ketika kita ingin membicarakan tema kota dengan komik, bisa menjadi dokumentasi visual tentang perubahan dan perkembangan mengenai tema tersebut, sehingga tidak saja menjadi bacaan ringan, yang kemudian disingkirkan dari arsip pribadi, tapi bisa menjadi referensi selanjutnya. Itu kemudian kita meminta pendapat dari orang-orang yang berkecimpung di sastra, sosial dan komik sendiri. Dan responnya sangat menggembirakan. Walau pun dari tampilannya sangat konvensional. Meskipun demikian kita berharap ini sebagai project awal bisa paling tidak memantik semangat teman-teman yang bergerak di bidang komik untuk punya keyakinan bahwa komik bisa dipresentasikan layaknya pameran seni rupa. Dan ini upaya mensosialisasikan teman-teman komikus lewat pameran. Dan TBY bisa memamerkan secara periodik dan memfasilitasi hal tersebut. Dari sini kita berharap perkembangan menjadi menarik, kita punya bayangan besar untuk membuat biennale komik. Saat ini ada teman-teman yang kebetulan karyanya dipamerkan yaitu Mario dengan Studio Urek-urek-nya, Ma’il dsb. Kita bisa mendengar sedikit pengalaman mereka dalam membikin komik melihat Yogya dengan komik.
Samuel Indratma: Banyak hal yang bisa disampaikan, agenda yang menarik adalah misalnya ada komik asing dan kita terbingung-bingung, atau kurangnya apresiasi dari pembaca. Bagaimana komik bisa menjembatani berbagai persoalan yang bisa dimasuki. Seperti teman-teman NGO menggunakan media komik untuk menyampaikan isu yang rumit menjadi lebih terserap, advokasi. Ini adalah satu bentuk advokasi untuk banyak hal, inginnya. Harapannya, misalnya salah satu contoh terdekat, banyak hal dari Yogya yang bisa dibongkar, membaca dengan kritis kembali, misalnya soal trotoar, lalu lintas kota atau bahkan polisi tidur, maka komik bisa membaca ulang hal tersebut. Nah persoalan itu menarik untuk diangkat, diulik dan diceritakan kembali melalui komik. Apakah mempunyai bayangan dengan media komik?
Dani: Saya putranya Pak Teguh Santosa. Saya sedang sibuk mengurusi karya-karya komik terdahulu (komik heritage). Ada pula indonesiakomik.com yang berposisi di Jakarta. Masalah komik memang satu yang luar biasa, jangan sampai hanya menjadi masalah diskusi. Ketika ada undangan diskusi komik, komikus tidak datang karena takut dengan tim akademis, jaman dulu komik Indonesia itu gambarnya sendirian, tidak tim misalnya. Padahal proses kreatif Bapak itu, komik menjadi media penyambung hidup, kalau tidak nggambar nggak hidup. Ternyata komik sudah menjadi pusaka di Indonesia, bisa disejajarkan dengan karya sastra yang lain. Kebetulan saya, Mas Seno, Mas Iwan Gunawan sudah sampai bab 3 untuk menyelesaikan kajian komik-komik karya lama. Mengupas tentang Pak Wid dan tentang Gundala, bagaimana bisa membuat karakter Gundala, padahal wacana buku pada saat itu masih terbatas. Bagaimana komik dulu itu dirancang dengan proses kreatif sedemikian rupa. Jaman itu posisi komik kan sama dengan VCD jaman sekarang (dari segi hiburan). Sebagai contoh proses menciptakan komik dengan tokoh Sandora, beberapa adegan ini diilhami dari soundtrack film apa. Jaman segitu proses komunikasi antar komikus dekat sekali. Misalnya perang tokoh, Om Ganes TH mengeluarkan si Buta dari Gua Hantu, dan bapak menciptakan ‘Loncatan..’, dua-duanya bawa kera. Ciri khas bapak tiap mau menggambar disiapkan soundtrack film. Komik jaman saat itu dibuat dengan meditasi, mengatur mood, seperti membuat karya lukis. Keluarga komikus kumpul semua, saya ikut memasarkan karya bapak, kita tawarkan di KR, mulai dari harga Rp 5000,- karena penghargaan atas karya-karya komik belum ada. Semoga dari sini dari Yogya bisa menjadi ibukota komik Indonesia. Banyak masalah tragis, jaman dulu komik juga mempengaruhi era politis, gimana komik dibumihanguskan, komik sebagai media menularkan virus kebodohan. Nanti di buku Komik Heritage Indonesia akan dijelaskan. Sebenarnya jaman dulu, dana untuk membuat komik ada, pemberdayaan komik itu ada, tapi uang itu dipakai untuk proyek asal membuang dana, komiknya selesai tapi tidak didistribusikan. Waktu itu komikus dijanjiin honor yang besar, ternyata honornya tidak diberikan. Hingga pernah suatu kali Pak Hasmi diancam dalam pistol segala. Kenapa kita harus membuat komik tentang Yogya? Menurut saya tantangannya terlalu kecil. Mungkin bikin komik tentang kraton, tapi tidak melulu tentang tema kebesaran raja, komik kraton alternatif. Jadi hal-hal tabu yang ditutupi di kraton selama ini bisa ditampilkan di komik. Membuat komik memang sulit. Nah bagaimana kita sekarang memupus mitos tersebut. Insyaallah Januari saya akan membuat komik trilogi Sandora, proses kreatifnya gimana dan sebagainya dan seterusnya. Kebetulan Sandora menggunakan wajahnya Ibu Wied Sendja, seorang penari yang tinggal di Solo. Kita menggali semangat-semangat komikus lama dan semoga almarhum bisa tenang. Di Malang juga ada komik nabi-nabi, penggiatnya antara lain Samsuri, Eros, Ema Wardana dll. Saya pingin mengundang mereka tapi takut, karena nanti sampai di Yogya dan ketemu dalam forum diskusi seperti ini, mereka menjadi minder. Karena walau bagaimana pun, kualitas seperti komik nabi-nabi pun,untuk di Malang industri komik masih berjalan. Walau pun dengan komik nabi, mereka bisa umroh dari bikin komik. Mereka handal dalam membuat ilustrasi, anatomi, cuman perbendaharan di cerita mereka lemah. Mungkin bisa ada tim penggodok cerita dan mereka yang menggambar. Kenapa karya sastra selalu ada launching tiap terbit, karya komik juga bisa seperti itu (intinya adalah perlu memikirkan sisi pemasarannya). Kasus lain, tragisnya komik di Indonesia contohnya Jawa Pos sempat memuat komik Sandora, tiba-tiba dihentikan baru sampai episode tertentu sama Jawa Pos tanpa ada pemberitahuan dan diisi dengan iklan. Seandainya saya jadi komikusnya saya pasti sakit hati. Bapak Teguh sempat demo dan tidak sempat terdokumentasi, karena Jawa Timur lebih memperhatikan olahraga sepakbolanya. Kita bisa bikin bursa komikus, kartunis biar hidup, pekerja komik biar bisa kumpul semua. Kita buktikan bahwa Yogya sebagai ibukota komik. Karena saya yakin event ini hanya milik kita dan bagaimana caranya bisa menjadi milik masyarakat Yogya, milik semua.
Yuswantoro Adi: Saya inget suasana kayak gini ketika jaman masih muda, OSR (Obrolan Seni Rupa), bisa ngobrol apa pun tentang seni, berhenti tahun ’91. Dihidupkan lagi oleh Yustoni Volunteero (aktivis Taring Padi), dengan forum adu goblok. Mungkin Samuel bisa mulai menghidupkan forum seperti ini kembali. Ingin berbagi informasi saja, bahwa represi pemerintah sampai saat ini pun masih ada. Sebagai contoh lukisan saya pernah di tawar oleh Gramedia untuk buku pelajaran sosial untuk kelas 10. Sudah deal, sudah tanda tangan, tiba-tiba nggak jadi, saya rugi 2 kali, rugi nggak dimuat dan rugi nggak dibayar. Sesungguhnya komik menjadi mahluk asing ketika tidak ada saling menyapa. Di Yogya kan kotanya kecil, dekat dan bisa saling berinteraksi. Saya harap Yogyakarta bisa menjadi ibukota seni rupa, tidak hanya ibukota komik. Untuk itu kita tidak menunggunya, tapi harus merebutnya. Kadang temen-teman lebih ekspresif di komik daripada di lukisannya. Contoh pamerannya Abdi Setiawan di LIP tentang penggunaan kondom, itu efektif dan kena sekali. Di bekas Gampingan tidak hanya museum, jadi temen-temen komik bisa mengajukan proposal untuk bisa berkantor di sana, banyak ruang yang bisa dipakai. Jadi untuk menjadi museum itu masih jangka panjang, jangka pendeknya adalah Gampingan menjadi ruang kebudayaan kembali. Komik Indonesia sekarang itu nggak se-nggetih (mendalami profesinya dengan intens sekali) jaman dulu, nanti kalau tidak laku bagaimana dan arahnya masih ke kartun, padahal komik tidak selalu kartun kan. Kalo soal ide saya percaya, banyak komikus yang jenius. Saya kurang tahu istilah kurang nggetih ini tepat atau tidak.
Samuel Indratma:Persoalan yang selalu muncul terus-menerus, bagaimana logika bertutur komik Indonesia di tengah halaman. Bagaimana naskah-naskah yang perlu dibangun kembali? Bagaimana merancang sebuah logika, kalau pun bertutur secara naratif, apakah perlu ada perkawinan (senirupa dengan sastra/teks)?
Afrizal Malna: Komik sangat progresif untuk hubungan antara seni rupa dan sastra, salah satunya. Komik tidak punya beban sebagai karya seni atau tidak, karena kalau punya beban menjadi lucu. Dia bisa menjadi sangat luwes bergerak dimana. Komik bisa dibangun dari materi-materi lain, dia bisa mengejar ketidakmungkinannya, kemustahilannya sendiri, tidak saja berhenti seperti yang kita definisikan sekarang. Untuk bahan-bahan di Indonesia banyak sekali, karena sejarah kita masih diadposi sejarah kolonial, untuk itu, komik saya harap bisa mengatasi ini. Komik bisa mondar-mandir tidak ada masa depan atau masa belakang. Enak sekali main-main seperti itu dengan media komik. Asyik ya komik itu. Banyak pengalaman soal provokasi visual. Untuk komik-komik etnis bahannya banyak. Komik ini kan dia kan keluar dari bahasa Indonesia yang baik, keluar dari seni rupa yang baik juga, dia memang anti mainstream, tidak ada standarisasi. Saya kira perlu ada perkawinan, bagaimana seni rupa bisa menaklukkan teks dan sebaliknya. Bahasa komik perlulah bahasa komik. Bagaimana sebuah karya sastra diangkat dalam bahasa komik.
Ma’il: Banyak sekali saya ingin menanggapi sampai saya lupa. Tapi saya setuju sekali kalau diadakan kayak bursa komikus. Karena sering saya dengar, teman mengeluh ‘wah aku nggak dapat partner’, nggak dapat naskah bagus, atau colourist yang keren. Penekanannya bukan pada masalah mempertemukan komikus dengan penerbit, itu nantilah kalau produknya sudah banyak, nggak mungkin penerbit tidak memperhatikan komikus, karena ada uang di sana. Urusan penerbit sebenarnya sangat sepele, gampanglah cari penerbit. Jadi temen-temen komikus tidak perlu ngeri dengan masa depan komikus. Yang seperti tadi Mas Yus bilang, komikus sekarang kurang nggetih, saya setuju. Setiap kali saya evaluasi diri saya sendiri, saya kok masih males-malesan. Kalau punya ide mau bikin untuk satu karya, atau mau bikin riset itu kok males banget. Nah itu saya akui. Saya berharap dari kumpul sebentar ini, saya pikir sudah banyak ide. Dulu sempat anak komikus takut ketemu sama anak ISI.
Rain Rosidi: Kalau saya lihat mulai dari jaman beberapa tahun lalu komik di sini mulai ramai. Komikus yang sifatnya sangat individual, indie dan spontan. Yah itu cukup bagus. Keinginnan saya sebagai seorang akademisi dimana situasi komik jangan seperti sinteron, kekurangan naskah sehingga diulang-ulang, hal-hal tabu bisa diangkat sedemikian rupa dan tidak eksplisit, mungkin bisa kolaborasi atau kawin antar komikus, jangan takut ketemuan antara komikus dengan akademisi, itu saya pikir bisa dilakukan dan tidak berat. Jadi ada pengayaan naskah yang sifatnya memperluas komik. Atau juga bisa mengadaptasi film, wayang dan sebagainya. Jadi saya kira naskah dan ide itu banyak, banyak cara bisa dilakukan juga, tinggal bagaimana program apa yang ingin dilakukan.
Samuel Indratma: Saya pikir adalah persoalan yang bisa digarap bersama. Komik kan ada ilmu interior juga kan, bagaimana memikirkan ruang di sana. Itu juga menarik di sana. Bagaimana membentuk dan mengembangbiakkan masyarakat kritikus, kurator, editor komik itu sendiri juga. Pengalaman komunitas Urek-urek bisa menjadi menarik untuk diceritakan, walau pun hasil akhirnya bukan komik tetapi animasi.
Urek-urek_1: Komikus itu menjadi kritikus sastra yang baik. Artinya dia akan menguji visual dalam karya sastra. Bagaimana divisualkan dalam story board sebelum menjadi film, misalnya seperti itu. Jadi komikus punya peran. Sedikit-sedikit saya mengamati tentang perkembangan komik. Komik kita pernah dipukul habis, setelah itu mulai muncul kembali, artinya waktu itu komikus belum sampai tahap industri. Nah sekarang masih di dalam inkubator kerja kebudayaan itu, yang seharusnya bisa menelurkan reposisi sebelum masuk ke wilayah industri, dia punya bargaining. Dalam kesempatan masa inkubasi (yaitu di dalam event Urban Piktoral+TBY) ini saya pikir kesempatannya akan lebih kuat, sehingga tidak ada overlap antara bahasa komik dengan bahasa sastra. Bagaimana satu visual tidak bercerita dua kali (sisi visual dengan sisi teksnya), tetapi saling mendukung. Jadi efektifitas gambar memang diperlukan dalam industri, ketika prinsip-prinsip ekonomi dijalankan, nah itu berbeda antara kita yang lebih mengedepankan ekspresi visual dengan prinsip ekonomi tersebut.
Bambang Shankuntala: (Pertanyaan dari Samuel: apa yang bisa dikerjakan bersama?) Masih memperhatikan masalah represi dari pemerintah. Komik bisa bermain dalam permasalahan yang cukup kompleks, misalnya politik makro. Nah agak susah bagi para komikus ketika bekerja sendirian. Jamannya Pak Teguh itu eksplorasi dan riset dikerjakan sendiri dan memahami betul situasinya. Dan biasanya ketika saya membuat komik akan saya baca kembali dengan posisi seandainya saya aparat pemerintah. Sehingga sampai pada firasat saja, kira-kira ini lolos atau enggak. Mungkin perlu mengkondisikan membuat komik sebagai suatu kebutuhan. Kalau bisa sampai pada tahap itu, orang akan bisa hidup dari komik.
Samuel Indratma: Strateginya apa dan bagaimana?
Bambang Shankuntala: Komikus sebenarnya harus mempunyai kemampuan yang lengkap seperti seorang sutradara, dia harus punya referensi yang cukup banyak. Sehingga dalam kebutuhan karyanya nanti akan menyentuh kebutuhan dasar penikmatnya. Terutama dalam hal kemampuan untuk membentuk opini publik.
Samuel Indratma: Misalnya diajukan adanya workshop reguler? Apakah menarik? Ada ide yang lain?
Wawan: Saya ini tepatnya bukan komikus atau pengamat komik, tetapi tetangga komikus. Saya datang ke sini supaya lebih tertarik akan komik.
Ma’il: Budaya kritik di Indonesia itu tidak hidup, karena sempat ada forum diskusi dan kritik komik tetapi teman-teman komikus menjadi marah. Sehingga terkesan teman-teman Yogya itu kebanyakan komentar. Mengharap bisa menghidupkan forum kritik mengenai komik. Mungkin ini bisa mendukung bursa, teman-teman di Jogja Komik Society ada ide untuk bikin kalender (mulai Maret 2007-Maret 2008), nanti rencananya teman-teman komikus diharapkan bisa ikut bursanya di situ, jadi mereka bikin satu lembar, dibanyakin visualnya. Nah ini dibutuhkan 367 komikus. Kira-kira ada tidak yah komikus sebanyak itu di Yogya? Kalau tidak ada apakah memungkinkan penulis naskah tampil di situ? Kira-kira bagaimana forum?
Selanjutnya obrolan teknis pelaksanaan.
Urek-urek: Energinya kan sudah tinggi di sini. Mungkin bagaimana komik ini bisa menjadi satu bidang ilmu, didorong supaya komik bisa menjadi ilmu. Persoalannya di seni rupa, di Indonesia itu selesai di metode, itu belum ilmu.
Rain Rosidi: Untuk menjadi ilmu tidak harus tugas seorang akademisi, bisa dibangun dari bermacam sisi, akademisi bisa berperan karena memang dia di bidang itu, tapi di luar kampus, itu juga bisa membangun konstruksi ilmu itu.
Dani: Saya sering mengamati gini, kenapa hanya ketemu di ruang seni, komik itu hanya menjadi bahan diskusi. Kita ingin komik ke arah diskusi, kita harus action, kita harus keluar dari habitat seni rupa. Jangan bikin pameran komik di kampus ISI lagi misalnya. Agar kita nanti kebagian job-job komik. Mungkin banyak orang yang pingin tahu tentang komik, mencari komikus, tetapi mereka tidak tahu dimana.
Urek-urek: Kesiapan memang tidak ada di kita.
Dani: Saya punya ide begini, mbok kita awali bikin komik-komik cerita rakyat, saya siap pasarkan. Kemudian yang lain adalah untuk menikmati Sandora, tidak lagi dalam bentuk buku komik, tapi bisa berbentuk CD (komik CD) dilengkapi dengan backsound, mungkin ini nanti bisa menjadi komik alternatif baru.
Samuel Indratma: Kita bisa merancang negosiasi dan strategi.
Diskusi diakhiri karena sudah menjelang maghrib, belum ada kesimpulan dan aksi seperti apa selanjutnya. Hanya ada catatan-catatan apa saja yang harus dilakukan untuk lebih mengembangkan media komik menjadi lebih baik ke depan.
Ruang Publik Boleh Langka, Asal Jangan Ruang Komik
(Pengantar Buku Jogja in Comic) oleh St Sunardi
Buku Jogja in Comic merupakan kumpulan lima karya komik terbaik dari kompetisi komik yang diselenggarakan oleh Taman Budaya pada awal 2006. Komik pertama “Gobak Sodor Swaijining Komik” menggambarkan rasa frustasi anak-anak karena ruang-ruang bermainnya semakin menyempit, kalau bukan lenyap. Dalam “Kota Seni”, komik kedua dilukiskan seorang tukang bakso yang ternyata lebih melek seni daripada seorang mahasiswa yang tidak tahu apa yang dilakukan untuk mengisi waktu kosongnya kecuali sibuk membaca buku porno. Komik ketiga, “Marini, Masih Ada Jathilan yang Lewat”, berisi cerita tentang orang yang sudah terasing dengan seni-seni tradisional. “Selamat Datang di Kota Revolusi”, komik keempat, melukiskan sejarah heroisme kota Jogja sambil menunjukkan seakan-akan orang-orang Jogja sudah bebas dari penjajah padahal belum. Komik terakhir yang berjudul “Brondoyudo Manyun Binangun” (Plesetan dari Barata Yuda Jaya Binangun) memperlihatkan sisi lain dari Yogyakarta. Konflik antar ‘gang’ di Malioboro untuk memperebutkan lahan.
Persoalan ruang bermain anak, kedudukan Jogja yang merana sebagai kota seni keterasingan orang jaman sekarang dengan seni-seni tradisional, krisis herorisme jaman sekarang, dan keruwetan Malioboro semuanya bukanlah isu baru, semuanya sudah banyak dibicarakan entah di media, di ruang-ruang seminar, dalam kampanye pilkada, mau pun di obrolan ringan di berbagai tempat. Kalau tema-tema itu muncul lagi dalam kumpulan komik ini, hal itu menunjukkan bahwa persoalan-persoalan tersebut memang menjadi persoalan nyata. Isu-isu diangkat kembali lewat medium komik. Hasilnya? Ada nuansa baru. Suasana gemas sangat dominan. Suasana ini pertama-tama kita rasakan lewat ilustrasi daripada pesan tekstual. Trotoar untuk pejalan kaki sudah diserobot untuk kendaraan bermotor, hiruk pikuk biennale dan events kesenian lainnya ternyata belum berhasil menggugah warga untuk melek seni, Malioboro yang disediakan sebagai wilayah untuk rileks ternyata dikotak-kotak oleh kekuatan-kekuatan invisible, dan sebagainya. Dalam perasaan gemas ini para kontributor buku ini mencoba untuk bersikap comical, mengambil jarak, menghela nafas. Jenis komunikasi inilah kiranya yang bisa kita apresiasi dari kehadiran kumpulan komik tentang Yogya.
Orang bilang, budaya pada dasarnya adalah komunikasi. Kalau komunikasi sudah tidak subur lagi, bukankah kita harus mencari cara dan medium komunikasi baru? Untuk mengapresiasi komik ini sebaiknya kita juga menempatkannya dalam konteks kejenuhan medium komunikasi yang ada. Konon kemunculan komik (mungkin proto-komik) terkait dengan para ilustrasionis “nakal” Abad Pertengahan di Barat yang tugasnya hanya memberi ilustrasi (dan dekorasi) pada buku-buku sehabis disalin, entah buku-buku keilmuan mau pun buku-buku keagamaan. Akan tetapi lama-lama mereka “berani” memberikan berbagai ilustrasi yang bernada setengah mengejek. DI situlah dimulai ruang bertanya (-tanya) dengan menggunakan ilustrasi. Jadi komik rupanya lahir dari kebutuhan untuk mengomentari apa saja yang sudah mapan. Orang tidak mau lurus-luruh saja. Fungsi komik ini masih kita rasakan sampai sekarang. Dalam hidup senantiasa ada sudut-sudut yang bisa dipertanyakan walau pun getir dan tidak semata-mata untuk dijelaskan dan diperintahkan. Di situlah komik hadir. Komik bukan semata-mata cerita bergambar atau gambar bercerita namun sejenis sikap hidup tertentu. Jenis ini kita beri nama komik.
Sehubungan dengan itu saya mempunyai satu catatan panjang sekaligus komentar untuk mencari jenis komunikasi yang kita cari bersama lewat komik.
Kini komik entah disebut seni atau bukan – sudah menjadi medium komunikasi penting dan meluas. Dulu komik dianggap sebagai bacaan ringan malah tidak bermutu sehingga banyak anak dilarang oleh orang tuanya untuk membaca komik. Banyak anak terpaksa sembunyi-sembunyi membaca komik. Sekarang? Semuanya berubah. Orang semakin yakin bahwa komik memang medium komunikasi yang ringan namun persoalan yang diangkat tidak senantiasa ringan. Oleh karena itu sering kali orang memilih medium komik untuk membahas hal-hal yang serius.
Hal ini pernah saya alami pada awal tahun 1990-an ketika saya mendapatkan oleh-oleh berupa komik Nietzcshe for Beginners. “Ah kurang kerjaan kapitalisme buku ini”, pikirku. Begitu saya buka-buka sambil dibaca secara cepat, saya tidak bisa tidak mengatakan ‘Dahsyat!’ Benar-benar comical. Berbagai idiom Nietzcshean yang selama ini saya kenal muncul dalam bentul-bentuk ilustrasi di luar bayangan saya. Saya lalu mulai mencari-cari siapa gerangan penulis dan ilustratornya. Karena, pikirku, tanpa menyelami betul semangat Nietzsche, niscaya mereka tidak mungkin menghasilkan komik Nietzsche yang ekspresif, kaya dengan emosi. Malah untuk beberapa tema, komik ini jauh lebih bagus daripada buku Nietzcshe sendiri! Bagi pembaca karya ini memang for beginners (untuk pemula), namun bagi penulis dan ilustrator, ini bukan for beginners. Ini hanya mungkin dibuat setelah mengendap. Betapa persoalan-persoalan serius yang selama ini membuat kepala pening bisa dijelaskan dengan riang jenaka dan... kena! Ungkapan-ungkapan klasik yang diramu dan dikombinasikan dengan ilustrasi menarik. Komik mengajak kita untuk tidak berlama-lama bicara tentang sesuatu namun juga mengajak kita untuk cepat-cepat mengambil sikap.
Nietszche for Beginners hanyalah satu di antara seri For Beginners yang mengalir ke Indonesia dan malah sebagian besar sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Komik ternyata tidak hanya diadopsi oleh dunia akademik. Kelompok-kelompok gerakan (misalnya gerakan perempuan) juga sudah menggunakan komik sebagai medium komunikasi. Berkat komik, gerakan perempuan di Indonesia lebih mudah dipahami oleh orang-orang di Indonesia. Dalam Politik dan Gender yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Cemeti, kita juga menemukan biografi seorang perupa Arahmaiani dalam bentuk komik. Komik rupanya sedang menjadi fashion. Komik sebagai medium komunikasi mulai dikagumi orang yang mungkin sudah mulai bisan dengan jenis-jenis medium komunikasi yang ada.
Dalam peta perkomikan seperti itulah kita bisa membaca Jogja in Comic. Kumpulan komik ini bisa kita tempatkan dalam berbagai medium komunikasi yang sudah ada di Jogja. Sebagai kota pelajar dengan ratusan perguruan tingginya, sebagai kota revolusi dengan berbagai cerita kepahlawanannya, sebagai kota pariwisata dengan berbagai kisah eksotisnya, dan sebagai pewaris kerajaan Mataram dengan status keistimewaannya, Yogya niscaya memiliki berbagai medium komunikasi untuk terus-menerus mengenal jati dirinya, merumuskan masalanya dan merancang masa depannya. Di tengah-tengah kekayaan medium komunikasi ini ternyata komik bisa menjadi salah satu medium menarik. Imaji ilmiah, imaji heorik, imaji eksotik, dan imaji struktural masih perlu dilengkapi dengan imaji comical. Imaji comical inilah yang sedang dibangun oleh Jogja in Comic. Memang di sana-sini saya masih melihat kuatnya hegemoni negara dalam komik ini (terutama lewat teks) namun tidak demikian halnya kalau kita melihat aspek visualnya.
Dari catatan panjang itu saya menjadi tidak khawatir dengan isu yang dibicarakan dalam komik itu sejauh ruang komik terus-menerus dikembangkan. Pengalaman menunjukkan kita dengan mudah bisa menambah fasilitas dan ruang (fisikal) untuk komunikasi. Akan tetapi, apalah artinya fasilitas dan ruang itu bagi kemajuan komunikasi kalau tidak melahirkan imaji baru? Bukankah itu komik baru bagi kita? Ruang publik boleh menyempit, asal jangan ruang komik.
Yogyakarta, 12 November 2006
St. Sunardi
Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Monday, November 20, 2006

6 Jam Di Gampingan

Oleh Nunuk Ambarwati
Pengantar
Meski pun acara ‘Melukis Lagi di Gampingan’ telah dimulai pukul 08.00 di hari Minggu, 19 November 2006 yang terik; saya baru bisa menghadirinya pukul 12.00 hingga 06.00 petang. ‘Melukis Lagi di Gampingan’ merupakan acara yang dirancang untuk mempertemukan seniman/perupa dengan Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara sebagai pihak yang dipercaya akan membangun dan mengelola Jogja National Museum kelak. Event ini pun sebagai upaya fundrising dukungan terlebih kapital atas rencana berdirinya Jogja National Museum, yang akan menempati eks gedung kampus Institut Seni Indonesia (ISI) atau ASRI dulu. Menurut catatan penyelenggara, ada sekitar 500-an orang yang mendaftar, tidak melulu berasal dari Yogyakarta, berpartisipasi dalam event ini, baik menggunakan media cat acrylic, cat minyak, sketsa di atas kertas dan kanvas mau pun performance art. Bagi penikmat event yang berlangsung sejak pagi hingga petang tersebut disuguhi bervariasi acara seperti tari, musik, teater, melukis bersama, performance art hingga diskusi (ngobrol ringan) sekali pun. Berikut ini notulensi hasil diskusi yang sempat digelar selama kurang lebih satu jam.

Public Hearing atas Rencana Pembangunan Jogja National Museum
Kawasan Gampingan (eks ISI, Yogyakarta)
Minggu, 19 November 2006
www.gampingan-site.blogspot.com

KGPH Wironegoro a.k.a Mas Nico (ketua Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara): Memberi gambaran dasar bagaimana Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara/YYSN sebenarnya membentuk apa yang sudah terbentuk. YYSN saat ini masih tahap pembentukan siapa saja yang akan in charge untuk mengelola yayasan mau pun museum ini nantinya. YYSN berangkat dari masukan/bisikan dari teman-teman seniman. Karena lokasi mau pun gedung bekas kampus ISI (selanjutnya disebut kawasan Gampingan) tersebut banyak dilirik investor untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai areal bisnis (mall, perkantoran dsb). Dan apabila hal itu terjadi, dunia seni akan kehilangan jejak sejarahnya. Ada visi, misi dan blue print yang dipresentasikan di sini mengenai rencana pembangunan museum yang bisa dilihat. Tetapi Mas Nico akan membuat forum yang lebih kecil dan intens untuk mendiskusikan arah museum seperti apa. Bisa terjadi forum seperti ini pun (event ‘Melukis Lagi di Gampingan’) dia sangat senang sekali.
Yustoni Volunteero (forum): Menceritakan kronologis bagaimana situasi bangunan setelah pihak kampus menyerahkan kepada Pemerintah Daerah. Dimana Yustoni Volunteero bersama komunitas Taring Padi-nya telah menduduki sekaligus menjaga fasilitas (listrik, air dan bangunan itu sendiri) di kawasan tersebut selama kurang lebih 4-5 tahun. Maka sangat disayangkan ketika kawasan Gampingan ketika berpindah hak kuasa ke pihak pemerintah daerah dan sempat terkatung-katung nasibnya, tidak jelas akan dipergunakan untuk apa. Apabila melihat blue print yang dipresentasikan, sepertinya akan banyak perubahan secara physically gedung itu sendiri. Museum seperti apa yang akan dibangun? Apakah museum an sich, yaitu bangunan dibiarkan tetap apa adanya. Atau museum sebagai tempat tampungan dengan visi misi yang jelas; bisa mengidentifikasi, mengkurasi dan menyimpan karya seni?

Kasman KS (forum): Kasman setuju akan didirikannya museum di Yogya. Tetapi jangan sampai museum berdiri dikuasai oleh orang-orang yang tidak jelas dan lebih penting harus obyektif.
Djoko Pekik (forum): Djoko Pekik sangat setuju dengan berdirinya museum, dan kalau bisa tidak hanya berskala nasional tapi bisa ke arah internasional. Tapi siapa yang akan membangun dan mengelolanya terus-menerus? Siapa yang akan menanam modal? Dia juga mengingatkan untuk memikirkan betul apa isi museum dan bagaimana langkah selanjutnya. Djoko Pekik sempat mengutarakan keberatannya ketika pada awal kegiatan ini, para seniman sudah ‘ditodong’ dengan harus menyumbangkan sekian persen (40 hingga 100%) dari hasil penjualan karya (= karya seni yang dibuat untuk event fundrising pembangunan Jogja National Museum). Keberatan ini didasarkan kepada, bahwa fungsi museum sebenarnya adalah men-support para senimannya, bukan malah minta support (dalam bentuk nilai kapital) dari senimannya.
GM Sidharta (forum): GM Sidharta senang sekali dengan niat mendirikan museum ini. Dan dia lebih banyak bicara praktis saja. Menurutnya, lebih baik langsung dibenahin saja. Mumpung ada donatur/investor yang siap membantu. Yang lebih penting dibangun dulu, mengenai isinya bisa dipikirkan dan dilaksanakan sambil berjalan.
Yuswantoro Adi (ketua umum ‘Melukis Lagi di Gampingan’): Menanggapi keberatan Djoko Pekik mengenai keterlibatan seniman untuk menyumbang prosentase hasil penjualan, menurut Yuswantoro hal tersebut diberlakukan untuk test case saja dan mengingat kondisi keuangan YYSN sendiri yang memang masih membutuhkan support. Seberapa besar seniman mau memberikan sumbangannya itu ada relevansinya dengan seberapa besar pula dukungan dan kepedulian seniman tersebut terhadap keberadaan museum nantinya. Sehingga itu menjadi alasan kenapa harus diberlakukannya sistem bagi hasil penjualan lukisan. Ditekankan pula oleh Yuswantoro bahwa hal tersebut bukan pada masalah mencari uang, toh membangun, membiayai sebuah museum itu juga tidak murah. Maka Yuswantoro sangat mengharapkan feed back dari quisioner yang telah didistribusikan.
KGPH Wironegoro/Mas Nico: Menguraikan mengenai masalah legal aspect untuk mengelola kawasan Gampingan tersebut. Pihak YYSN telah mengajukan proposal ke pemerintah provinsi (pem.prov) dan pem.prov telah memberikan ijin selama 3 tahun pada mulanya. Kemudian setelah dilobi, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengelola 10 tahun pertama dan apabila disetujui kembali akan mendapatkan perpanjangan per dekadenya. Perihal fisik gedung di kawasan tersebut, beberapa bagian gedung memang segaja dibongkar/dihilangkan. Tetapi pembangunan museum itu sendiri akan lebih bersifat kosmetik, yakni tidak merusak bangunan inti. Perihal bagi hasil penjualan karya seni, YYSN lebih ingin mengajak keterlibatan para seniman. Kenapa berani mengelola tempat ini? Karena sebelumnya YYSN memiliki pengalaman mengelola Lokananta (posisi di Solo), yaitu sebuah studio musik, selama 2 tahun. Di sana banyak seniman musik besar dilahirkan, seperti Gesang dan sebagainya. Ketika pihak pemerintah daerah sudah tidak mampu mengelola Lokananta, pihak Yayasan berusaha memprovokasi pemerintah untuk mengambil alihnya. Dan ketika bisa diambil alih, selama kurun waktu 2 tahun tersebut, pihak Yayasan berhasil mengembangkannya. Untuk itu, sama halnya dengan museum yang nantinya akan didirikan, YYSN berharap ada hubungan yang harmonis berbagai pihak tanpa melihat hubungan ekonomis semata.

Kuss Indarto (Ketua Pelaksana event ‘Melukis Lagi di Gampingan’): Masih menanggapi mengenai bagi hasil yang diterapkan di event ini, lebih mengajak semuanya untuk hal artist social responsibility, sehingga museum bisa menjadi milik bersama bukan hanya menjadi milik swasta. Karena sebenarnya seniman juga sangat miskin pada akses-akses ke kekuasaan (pemerintah mau pun parlemen).

Elia (forum): Berharap agar esensinya tetap tapi cantiknya bertambah. Diperlukan referensi lebih banyak mengenai museum dan bisa menerapkannya di sini. Karena di sini belum museum minded, jadi culture tentang museum belum ada di sini.

Ali Umar (forum): Atas nama pribadi, Ali Umar memberikan acungan jempol kepada KGPH Wironegoro karena setelah kondisi kawasan Gampingan ini hancur, dimana hampir semua tidak peduli, dia malah mau membangun museum dan mengelola kawasan ini. Ali Umar mengajak untuk menghargai niat baik tersebut untuk bisa diterima terlebih dahulu, jangan hanya soal bagi hasilnya saja yang dikedepankan. Kita harus sama-sama belajar.

Basori (forum): Yang jelas ini kemampuan dan kemauan yang datang kesini. Gampingan ini mau dijadikan apa, laksanakan saja di sini. Siapapun itu enggak ada urusan. Secara hukum siapa yang memiliki Gampingan. Celotehan teman-teman seniman, bagaimana pun bahasanya tetap perlu didengarkan. Bukan hanya kalangan formal saja yang didengar. Melihat secara historis, keberadaan ASRI sebelum berubah menjadi ISI sangat luar biasa. Proses kreatif yang terjadi di kawasan ini pada kurun waktu tersebut juga sangat luar biasa. Basori sangat setuju apabila menjadi museum. Dan masalah setuju mau pun tidak setuju harus mempunyai alasan yang jelas.

KGPH Wironegoro/Mas Nico: Terakhir menekankan untuk semua pihak, termasuk seniman bisa berhubungan baik dengan semuanya.

* * *

Artists Forum International (AFI)



Artists Forum International (AFI) is most pleased to announce you that we are hosting the 2nd workshop of the Intra Asia Network (IAN in collaboration with SSamzie Space and Intra Asia Network. This workshop entitled, New Ways of Engaging Asia - Artists’ Mobility and Artist-in-Residencies is a workshop for directors from artists-in-residence programs of Asian region. Supporting the vision of Intra Asia Network to promote artists’ mobility through close network amongst culture organizations in Asia, AFI aims to provide a platform on which arts organizations discuss pertaining issues that artistes-in-residence programs face. This is a workshop for directors from artists-in-residence programs of Asian region who value the power of collaboration, so all the participants will be asked to be a part of discussion and to create collaborative projects proposals for the year 2007. The workshop to be held in Korea, scheduled from September 8 through 12th, 2006.

This program is prepared as an umbrella program of AFI’s annual event, Artist Forum International that showcases the contemporary avant-garde art forces. Through this forum, AFI aims to raise critical questions to contemporary art field, mediate continuous international cultural exchanges, and reach out broader audience. The main theme of this year’s Artists Forum International will be Public Moment. There have been numerous discourses on publicness and public art. While these tend to focus on places, such as public sites, “Public Moment” will pay close attention to processes -- of public communication, public interface, dialogue and exchange, and formation of public opinion. As such, this workshop explores the process through examining the role of artist-in-residence program for public and projecting the possibilities of such programs as collectives. The theme is designed to examine domains of individuals and the public. It focuses on how individual interacts with another individual, individual with community, and community with communities as we create public structure of our society. The forum includes exhibitions, symposium, art fair and of course the workshop and symposium site visits on Asian Artists’ Mobility and Artist-in-Residencies. AFI 2006 is initiated by Alternative Space Network in Korea with goal to expand the scope of participation from various organizations, institutions, as well as individuals.

What we do through this:
- To discuss and create collaborative project proposal for 2007 among AIR organizations in Asian Region (this discussion is internal meeting).
- To offer opportunities for AIR organizers to reach out Korean artists through the presentation that introducing their activities.
- To offer general public to learn about the activities of artist-in-residence programs in Asia through public presentations entitled, AIRs in ASIA.
- A conference, that will present the report of IAN workshop in Korea, how visiting artists can impact the local environment, and also how their experience at the residencies, affect their own artistic developments.

New Ways of Engaging Asia - Artists’ Mobility and Artist-in-Residencies;
These are the currently scheduled projects:

First, there are small workshop groups of following three topics. At this internal small workshop groups, will discuss case studies and will be asked to draft a collaborative project proposal for 2007. For this, the group leaders (Resource Coordinator for Research and Structuring the Framework of the Workshop: Jay Koh (topic #1), Davide Quadrio (Topic#2), Margaret Shiu (topic#3) will help realization of this objective.

The topics are:
Topic#1: Start Up and Management- Alternative Strategy of Residency Program
Leader/Jay Koh
members/Howard Chan, Hyunjin Shin, LY Daravuth, Tasuhiko Murata, Yap Saubin, Brian Wallace

Topic#2: Funding Intra Asia Connection and Resource Development
Leader/ Davide Quadrio
members/ Yusaku Imamura, Dihn Q.Le, Gina Wong, Motoko Uda, Audrey Wong, Anne Yao

Topic#3: Reinforce Cooperation: New Models of International Exchanges for Residencies
Leader/ Margaret Shiu
members/ Mella Jaarsma, Norberto Roldan, Jagath Weerasinghe, Nick Tsouta, Penelope Aitken, Yao hua Su

Second, the collaborative project proposals for 2007 will be collected and taken to the second day general meeting of IAN. In this meeting, the participants will discuss their projects in comparison the future direction of IAN. Also we will try to invite funding organizations to review the projects.

Third, the participants will also get the chance to give public presentation where they will introduce their organization to Korean artists. This is an excellent opportunity to reach out to Korean artists as well as international art professionals. The participants will also get to talk to the artists directly. The workshop will be held within partner artists-in-residence organizations of Korea. Partner organizations are: SSamzie Space and Gwangju Municipal Residence Program. They will be holding Open Studios at the same time. We are expecting additional foreign visitors, since this workshop will coincide with the openings of 2006 Gwangju Biennale.

Fifth, a symposium under the same title, New Ways of Engaging Asia will be held. This symposium explores the artists’ mobility in relation to the artists in residencies, impact of residencies on the artists’ practices and on the locale.
- 'Possibility and Mobility of AIR in Asia' keynote presentation on the preparation of 2nd workshop and current condition of Asian AIR practices by Margaret Shiu, IAN Network President. - 'The New Cosmopolitan,' on the impact of AIR on artistic practice by Penelope Aitken with discussant, (TBA).- 'What do residence programs contribute to local culture?' by Kim Kyuwon, researcher at Korea Culture and tourism Policy Institute with discussant, Jay Koh.

Sixth, participants are cordially invited to visit Artist Forum International events throughout the country. Site visits are scheduled on 10th and 11th. Detailed schedule will be handed out at the workshop.

For more detailed information of the workshop, you may contact
AFI: Hyunjin Shin, ssamziemail@yahoo.co.kr, tel. +822-3142-1693.

Intra Asia Network, Margaret Shiu, Representative, bamcur2003@yahoo.com
Gwangju-si, Kim Jonggab, gjg116@empal.com
Gwangju Biennale Gwangju Uijae Cultural Foundation: Sung Kim, mailto:ksnewslove@hanmail.netSSamzie Space contact: Jungyeun Kim http://www.ssamziespace.com/mail/mailing/web/kjy78109@naver.com




Saturday, November 11, 2006

Video Fresnoy!

NOTULENSI PRESENTASI KARYA DAN DISKUSI
“Perubahan Estetika, Budaya dan

Relasi Sosial dalam Era Konvergensi Elektronis”

Video Fresnoy!-
Yogyakarta International Videowork Festival (YIVF) #02, 2006

Organizer: The House of Natural Fiber (HoNF) dan

Lembaga Indonesia Perancis (LIP)

Tempat: V-Art Gallery, Yogyakarta, Senin, 06 November 2006


Pengantar:
Pada tanggal 1-15 November 2006 diselenggarakan festival karya-karya video dari 11 orang asal Indonesia dan 11 seniman asal Fresnoy (baca: frenoi), Perancis, sebuah studio nasional seni kontemporer; dengan title “Video Fresnoy! – Yogyakarta International Videowork Festival (YIVF) #02, 2006”. Kegiatan ini diselenggarakan dan diorganisir oleh Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan The House of Natural Fiber (HoNF) yang digawangi antara lain oleh Vincensius ‘Venzha’ Christiawan dan Irine ‘Ira’ Agrivina. Presentasi karya-karyanya sendiri dibagi dalam dua tempat, yaitu di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan di V-Art Gallery. Berbagai acara pendukung digelar dalam rangkaian presentasi karya ini seperti diskusi yang diselenggarakan pada tanggal 6 November 2006 lalu di V-Art Gallery. Berikut notulensi diskusi yang berhasil digarap. Karena keterbatasan pemahaman mau pun penulisan pada saat proses notulensi, maka ada beberapa kalimat yang tidak utuh. Apabila ingin mengutipnya sebagai materi tulisan mau pun publikasi Anda, mohon gunakan secara bijaksana dan mencantumkan sumber dengan jelas, demi kenyamanan dan kepentingan semua pihak. Terima kasih.


Program video dan sinema karya 11 seniman yang hidup di Perancis dan diproduksi oleh Le Fresnoy, studio nasional seni kontemporer. Apakah seni kontemporer yang terbukti digarap secara mendalam melalui bahasa sinematografis atau sinemalah yang mencari dari sisi seni kontemporer suatu cara lain untuk mengolah gambar, suatu durasi lain yang sesuai untuk menampilkan gambar? Dengan demikian, karya-karya yang terpilih untuk program ini sekaligus mengungkapkan hubungan antar seni, batas-batas teritori video serta praktek-praktek relasional seni kontemporer dan sinema. Seleksi ini tampil dari satu paradoks, sama sekali tidak merefleksikan keseluruhan koleksi. Karya-karya ini mempunyai keindividualitasannya sendiri. Untuk menemukan koherensi karya-karya yang terpilih ini kita harus mencarinya di tempat lain. [dikutip dari buletin Voila, terbitan LIP, Yogyakarta, edisi #14, September, November, Desember 2006, halaman 7].
Seniman yang terlibat:vjnumberone tommy surya, electrocore! project istasius vincensius, dj wza stereowek-nulab, mario tagambe+errin citra, soundboutiqueforum, pito+terra, disko project, wok the rock, dj endo, wimo a. bayang, reddoor community, marie-laurie cazin, laura erber, maider fortune, laurent grasso, valerie mrejen, eric oriot, eric pellet, anri sala, carolina saquel, gregg smith, jerome thomas
Presentasi:
Marie Le Sourd
Direktur Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Koordinator YIVF #02, Yogyakarta
Irene Agrivina
Head of Cultural Program the House of Natural Fiber (HoNF), Yogyakarta.
Pembicara Diskusi:
St. Sunardi, Ketua Program Pasca Sarjana Kajian Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta.
Budi Irawanto, staf pengajar FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Nicolas Warouw, pengajar di Pasca Sarjana UGM dan USD, Yogyakarta.
Zamzam Fauzanafi, Antropolog Visual dari Rumah Sinema, Yogyakarta.
Christopher Chong, praktisi film eksperimental.
Venzha, pengelola YIVF #02, direktur HONF, Yogyakarta.
Moderator:
Ferdi Thajib, peneliti.
A. Sudjud Dartanto, staf pengajar Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Notulen: Nunuk Ambarwati
Marie: Ini merupakan proyek pertama sejak saya tiba di sini. Bagaimana situasi video art di Perancis. Satu pertanyaan yang cukup bisa dijawab, 2 tahun yang lalu ada proyek di LIP juga mengenai video art. Video art mempunyai arti penting di Indonesia mau pun di Eropa. Pada dasarnya Fresnoy adalah sekolah video kontemporer di Perancis yang berdiri sejak 1997. Fokus pada video, film etc. Ada 5 atau 6 video, dikurasi oleh seorang kurator. Dia memilih video tersebut... Banyak sekolah video art di sana. Fresnoy merupakan sekolah terbaik dan cukup mahal, senimannya cukup terkenal, mempunyai fasilitas yang bagus. Ada video art movement di Perancis, situasinya sangat militan di sana. Ketika video mulai di Perancis awal tahun ’60-an, yang menyuarakan kebebasan, mempunyai pesan politik... Ketika kita melihat di sini... video art, banyak repetisi, banyak menggunakan images yang lama, menggunakan konsep recycling dan memasukkannya ke konteks lokal. Ide dari me-recylce images tersebut, banyak seniman memasukkan main subjects di video mereka. Dan terakhir, video art yang bersifat dokumenter, banyak menangkap situasi sehari-hari, banyak menceritakan tentang refugees di Perancis. Tidak banyak kata, banyak aspek dokumenternya. Sedikit mendeskripsikan situasi perkembangan video art di Perancis, sejarah film. Pada awalnya video banyak melawan pesan-pesan politik yang disampaikan pemerintah. Tapi sekarang video art banyak masuk ke wilayah seni visual kontemporer. Di Perancis banyak seniman/organizer untuk lebih membuat video art lebih familiar.
Irine/Ira: Proses pencarian à seniman yang tergabung untuk merespon Fresnoy à 11 seniman yang ikut menceritakan mengenai situasi keseharian. Untuk beberapa komunitas itu cukup awam. Sebagai contoh salah satu seniman yang berangkat dari background distro, mereka agak bingung dengan tema yang disampaikan organizer. Malah hasil yang didapatkan dari komunitas ini adalah video-video yang cukup fresh. Ketika digabungkan dengan video hasil dari seniman Perancis, seniman lokal cukup minder dengan itu. Penilaian tetap diserahkan kepada publik. Ke-11 seniman tersebut antara lain à bisa baca di brosur. Background mereka cukup bervariasi seperti dari DJ, distro, memang seniman video art dsb.
Ferdi: Video yang dihasilkan banyak bermain dengan teknologi dan bentuk dan menampilkan gagasan-gagasan keseharian. Bagaimana pola-pola new media art yang berlangsung di luar konteks Indonesia?
Christoper: Di Canada, background saya adalah sutradara eksperimental. Dan saya bekerja dengan menggunakan bantuan teknologi seperti kamera dan lighting. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa seseorang berkarya? Apakah untuk kepentingan atau didasari atas kepentingan sosial, politik dsb. Saya akan berbicara lebih banyak mengenai proses berkarya. Kenapa seseorang mulai membuat sesuatu? Yang pertama adalah saya menggunakan, filosofi yang pakai adalah... yang kedua adalah teknis apa yang akan saya pakai. Bagaimana korelasi karya saya dengan situasi di Malaysia. Pengalaman saya di Malaysia, saya masih terbatas untuk menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan dalam video tersebut, seperti images apa yang akan saya pakai.
Ferdi: Presentasi selanjutnya oleh Venzha, mengenai upaya identifikasinya dikomparasikan antara di Indonesia dengan di luar negeri.
Venzha: Kenapa memakai kata ‘work’ – ‘internasional’. HoNF berinisiatif untuk menampilkan banyak video yang datang dari banyak tempat. Sangat sayang ketika video tersebut hanya di-screening saja. Tahun lalu dipresentasikan di beberapa klub di Yogyakarta. Disamping itu banyak side events, seperti workshop. Begitu banyak video yang datang dan harus melalui proses seleksi. Kenapa memakai kata ‘Yogyakarta’ à pelaku video art banyak datang dari luar Yogyakarta tetapi mereka banyak berkarya di Yogyakarta. Yogyakarta di sini tidak menginisialkan asal dari pelaku tetapi lebih pada wilayah berkarya. Kenapa ‘internasional’ à lebih familiar. ‘Videoworks’ ? Tidak bisa mengklaim mana yang video art dan mana yang bukan. Karena banyak macam dan tema.
Untuk tahun ini, LIP dan HoNF kita melihat kemungkinan2 apa yang bisa dilakukan. Untuk kali ini kita cukup mempresentasikan seniman Perancis dan Indonesia. Khusus di Yogyakarta kita mengadakan side events seperti ini, ada diskusi, workshop, screening, VJ gathering, kolaborasi dengan seniman lokal (Yogyakarta). Total ada 22 karya. Kami membaginya 50:50 antara di V-Art Gallery dan di LIP. Kenapa membuat ‘videoworks’ workshop, banyak yang mengasumsikan bahwa art itu ‘tinggi’ untuk mereka. Untuk itu tujuan workshop ini adalah berusaha ‘mencairkan’ mindset tersebut, seperti bagaimana menganalogikan effects dan sebagainya dengan teknik yang sebenarnya bersifat sangat dasar. Digitalisasi proses membuat karya video banyak berdekatan dengan musik elektronik dan tidak bisa dipisahkan. Kami berusaha memperkenalkan peranan perkembangan teknologi yang sangat cepat dan aksesibel.
New media art? Apakah video sudah layak dianggap sebagai new media art? Kita jangan terpancang dengan kata art di situ. Banyak sekali makna/arti dimana hingga saat ini kita masih sulit mendefinisikannya. Video sebenarnya hanya salah satu medium. Dan masih banyak medium yang masih banyak yang bisa kita explore. Jadi dalam new media art banyak sekali cabang seperti game, script art dsb. Dimana perkembangan new media art itu sendiri hingga kini belum selesai. Hubungannya dengan festival ini, video art merupakan bagian kecil dari new media art. Kita harus sadar dengan kondisi di Indonesia mau pun di Asia Tenggara, dimana selalu dikatakan bahwa digitalisasi adalah cerminan dari generasi seni media baru. Menurut kami, setelah 2 kali melakukan video festival, kami tidak melulu setuju dengan pendapat tersebut.
Sudjud: Memberikan referensi bacaan à tulisan dari Krisna Murti. Diharapkan ini merupakan forum untuk membicarakan mengenai new media art.
Ferdi: Kenapa kami mengundang banyak pembicara, ini merupakan gagasan dasar dari festival itu sendiri mengenai banyaknya ragam penafsiran mengenai new media art yang ada.
Sudjud: Bila kita membayangkan sama-sama ketika media video ini dikelola tahun ’70-an, ada seniman video bernama Nam June Paik. Artinya di Indonesia, sudah lebih dari 30 tahun perbedaan jarak antara perkembangan video di Indonesia dengan di luar. Seperti dikatakan oleh Marie, perbedaan situasi lokal di negara masing-masing, juga kekhasan yang dimiliki para pelaku video tersebut menjadi hal yang membedakan pula. Budi Irawanto seorang pengamat budaya visual akan mulai di termin kedua.
Budi Irawanto: Saya akan mulai dari statement terakhir dari Venzha. Saya akan sedikit bicara tentang medium video. Medium video tidak banyak diperbincangkan yang menjadi ekspresi seni/artistik seniman. Video baru dikembangkan di tahun ’50-an. Popularitasnya tahun 1965. Bagaimana video mulai dilirik oleh kalangan seniman untuk mengekspresikan gagasan mereka. Bagaimana video ini disebut sebagai militan. Potensi yang dimiliki oleh video, pada awalnya dianggap sebagai bagian menempel dari bagian perkembangan televisi seperti program berita. Tapi pelan-pelan menjadi suatu yang independen. Ada sejumlah nama yang sudah disebut tadi, seperti ada kelompok performance yang menggunakan video yaitu Fluxus. Pada mulanya video hanya digunakan sebagai media mendokumentasikan event. Tapi kalangan seniman melihat potensi media ini untuk dikembangkan lebih seperti yang digunakan oleh Heri Dono dan Krisna Murti sebagai medium ekspresi dan eksplorasi artistik. Kemudian muncul banyak perdebatan, apakah video ini dikategorikan sebagai seni atau tidak, banyak perdebatan yang menyertainya. Marie mengatakan jangan-jangan ini adalah gejala psikologis à narciss. Sebagai contoh karya video Wimo Ambala Bayang. Di satu sisi mengatakan sebagai gejala psikologis, sementara yang lain melihat sebagai gejala teknis. Isu tentang medium pada pusat perdebatan, bukan pada isinya. Dan video, ini medium yang sangat luar biasa karena sifatnya yang fleksibel, aksesibel. Video sendiri punya kemampuan untuk diaplikasikan dengan banyak hal, bisa bersinergi dengan komputer, handphone dsb. Di satu sisi ini menimbulkan ketidakjelasan sifat video ini kemudian. Maka tidak mengherankan new media art jantung utamanya adalah video itu sendiri disamping suara.
Dalam konteks festival ini, selama ini ada semacam anggapan bahwa seolah-olah ada 2 kubu (Yogyakartaà tradisional vs Bandung à modern). Penting untuk dicatat bahwa seolah-olah Yogyakarta gaptek untuk medium video dan teknologi. Sebagai contoh ke-11 karya di sini sangat luar biasa, dasarnya berangkat dari VJ, seni tradisional seperti wayang, desain dll. Festival ini menunjukkan bahwa medium video sudah sangat akrab dengan anak muda, bila dibandingkan dengan situasi 10 tahun yang lalu dimana chanel TV masih terbatas. Ini merupakan refleksi perkembangan teknologi itu sendiri.
Ada persoalan mengenai keterbatasan mengenai video itu sendiri. Seperti bagaimana harus ‘disimpan’, bagaimana ketika video tersebut masuk pada tataran mainstream yang bersinggungan dengan soal copyright. Disamping potensi-potensi yang dimiliki sifat video ini, tentunya ada hal yang harus kita perhatikan mengenai keterbatasan sifat video tersebut. Video meleburkan batas artistik dengan komersial, sebagai contoh program-program yang ditayangkan oleh MTV.
Nicolas Warouw: Presentasi dengan powerpoint.
Judul : “Kehidupan Sosial Teknologi (the social life of technology)”
Pengantar:
Teknologi-teknologi media tidak netral karena sesungguhnya setiap medium menghasilkan relasi-relasi sosial baru terhadap manusia dalam berbagai tingkatan.
Dengan demikian, pemahaman terhadap aspek fisik teknologi dan bentuk-bentuk mediasinya menjadi lebih utama daripada informasi atau pesan yang dibawa oleh teknologi media tersebut.
Masyarakat Indonesia, beberapa konteks:
Kontrol sosial oleh negara dan institusi kebudayaannya demi sebuah kohesi sosial.
Merebaknya konsumerisme akibat menguatnya ideologi pasar à budaya pop.
Teknologi dalam Masyarakat Indonesia:
Teknologi sebagai instrumen untuk memproduksi manusia ‘ideal’ dalam konstruksi negara à keseragaman tentang sains, rasionalitas, kekuasaan, (kajian Spitulnik dan Mrazek tentang ‘modern colonial space’).
Eksklusivitas teknologi media dekade 1980-90an à terasingnya (alienasi) manusia dari modernitas.
Konteks Kontemporer tentang Teknologi:
Aksesibilitas publik terhadap teknologi media.
Seni Video (dan Seni Media) yang sebagai bentuk pembalikan kondisi sebelumnya dimana kontrol diambilalih dari negara/masyarakat ke diri manusia (self) sebagai sebuah pleasure.
Pembalikan terhadap posisi subordinasi dan ketidakberdayaan untuk menghasilkan makna oposisional.
Penutup:
Seni Media merupakan media bagi seniman untuk mengapropriasi budaya pop yang dikendalikan oleh pasar.
Penegasan identitas generasi (yang modern dan melek teknologi).
Budaya pop menjadi medan pembajakan makna yang diciptakan oleh kekuatan dominan ke dalam konteks yang dimiliki oleh mereka tersubordinasi.
Menjadi sebuah gerakan kultural sebagai penegasan bahwa dominasi tidak pernah total.
Zamzam: Pameran ini hubungannya dengan penonton. Kalau kita lihat media bergerak (moving images) dalam pengalaman saya, bagaimana mengalami moving images tersebut. Riset yang coba diajukan ‘bagaimana film/sinema dialami bukan di bioskop?’ Teori/pendapat à tentang film-film pertama di Italia, bahwa membenarkan pengalaman menonton film adalah pengalaman seseorang berjalan di kota atau bergerak di kereta (deretan sinematografik). Pengalaman yang lain mengenai bagaimana menonton diorama, yang diasumsikan seolah-olah bergerak. Dalam konteks Indonesia, seperti apa pengalaman orang menonton sebelum sebuah film muncul. Semua pengalaman ini yang sebenarnya bukan pengalaman menonton film yang wajar à pengalaman yang terpenggal-penggal ini, menurut saya semakin terasa, semakin kuat saat ini dan tersebar dimana-mana. Bukan hanya menemukan film dalam situasi sinema konvensional (menonton dari awal sampai akhir dst). Pengalaman tersebut terasa ketika menonton pameran ini yang tidak bercerita apa-apa. Ini bukan lagi persoalan storytelling tapi lebih pada rangkaian-rangkaian images. Ini menjadi pertanyaan, ketika bicara multi images sebenarnya apa yang diperhatikan oleh penonton? Bahwa semata-mata bukan gerak itu sendiri, bukan obsesi terhadap gerak, ceritanya menjadi tidak penting. Tetapi biasanya dia tertarik kepada gerakan yang bertujuan, yang berkonsekuensi. Dan gerakan tersebut harus berdasarkan tindakan. Secara teknologis film itu diam, apalagi ketika film tersebut tidak menunjukkan aksi. Tetapi foto, meskipun itu sepertinya diam, tetapi ketika itu terpersepsikan ada gerakan yang berkonsekuensi akan menjadi sebaliknya. Pengalaman mengenai ‘gerak’ itu menjadi sangat subyektif.
St. Sunardi: Ada 3 hal yang ingin disampaikan mengenai fenomena new media art, dengan kerangka pertanyaan ‘sebetulnya apa yang terjadi saat ini?’ Yang pertama, kemungkinan pertama secara sosiologis, ini adalah peristiwa untuk mengelitisasi diri, terutama lewat media video. Video yang sifatnya memassifkan, pelaku (seniman video di sini) ini malah mungkin berlaku sebaliknya. Ini mungkin bagian dari pembentukan identitas.
Yang kedua, semuanya non sense. Dengan kata lain, sebetulnya kita tidak mengetahui apa-apa. Kalau dalam seni visual ada non representational painting, kalau di sini menjadi non communicated. Komunikasi macam apa yang terjadi? Mungkin ini menjadi semacam aesthetic of silent. Ketika fenomena seni video tersebut bergerak terus, mungkin kita menjadi tahu apa maksud kode-kode yang terus bergerak tersebut. Ketika dihadirkan caption yang sebegitu banyak, saran saya jangan membaca caption tersebut dan mungkin tema self narrative tersebut bisa masuk.
Tia (forum): Kalau bicara tentang new media art, sampai sekarang belum ada kesepakatan yang definitif. Hampir semua pembicara lupa, bahwa yang dibicarakan di sini ada budaya teknologi (techno culture). Kutipan (Andrew P) à ketika seniman menggunakan teknologi rekaman, jadi ekspresi media berkesenian itu diubah, dari yang bersifat performing menjadi direkam (recording). Jadi unsur otentisitas itu menjadi penting. Tia mengganggap organizer terlalu tergesa-gesa ketika meluncurkan statement mengenai representasi perkembangan new media art melalui festival ini. Hal yang baru dan perlu diperhatikan bahwa seni yang menggunakan teknologi membuka bentuk negosiasi baru. Ketika otentisitas tidak dipertanyakan lagi maka identitas menjadi tidak penting. Ruang-ruang negosiasi baru ini membentuk budaya-budaya oposisi, seperti melalui internet kita bisa melihat bagaimana komunitas yang belajar sendiri untuk mengakses pengetahuan bahkan ideologi mau pun yang bersifat iconic. Persoalannya adalah bukan seni yang estetis atau tidak, tetapi apakah muatan dari karyanya itu bisa di-share oleh seniman lain atau bisa mendorong satu bentuk kolaboratif atau pertukaran gagasan/nilai/pengalaman yang tadinya bersifat situasional menjadi milik bersama/publik. Ada derajat relativitas budaya yang absurd di sana, tetapi itu memungkinkan bagi seniman bahkan publik. Seni media baru ini menjadi satu bentuk discentring.
Dodo (forum): Yang menarik adalah sejauh mana ketika proyek ini dibaca sebagai kebudayaan? Bagaimana kebudayaan ini dinarasikan? Bagaimana hubungan antara seniman dengan intelektual? Bagaimana seni yang kontekstual ini mampu dibaca sebagai teks/dinarasikan oleh publik?
Ridwan (forum): Ingin menanyakan beberapa statement dari pembicara. Event semacam ini menjadi semacam gerakan kultural baru yang diharapkan bisa menandingi hegemoni kebudayan tertentu. Ketika St.Sunardi mengatakan peristiwa semacam ini tidak bisa menimbulkan satu pencerahan, bagaimana ketika publik awam yang tidak memiliki background apa pun mengenai media ini?
Budi Irawanto: Saya setuju dengan pendapat Tia. Selain techno culture bagaimana perkembangan budaya sosial (image), ketika kita dikepung oleh budaya visual dimana-mana. Bagaimana posisi kita, doing atau playing with technology. Yang saya tangkap dari festival ini, elemen bermain nya menjadi sedikit terlalu serius. Ruang itu tidak cukup diambil oleh para pelaku (seniman video di sini), tidak harus konseptual.
Zamzam: Tulisan saya sebenarnya mengupas mengenai bukan sekadar gerakan. Apa sebab munculnya ini dan apa konsekuensinya? Ini yang harus dibicarakan. Dan itu tercermin dari beberapa karya di sini. Banyak yang mengeksplorasi gerak dalam karya-karya yang dipresentasikan di sini.
Nico: Tentu saja kita tidak bisa menghindari bahwa ada kecenderungan elitisme. Hal yang lain juga kita tidak bisa menghindar dari bahwa ini tidak lebih dari perayaan gaya hidup yang ujung2nya menjebak kita dalam budaya konsumerisme. Yang saya garis bawahi adalah bagaimana seniman video di sini mencoba berekspresi untuk memindahkan pusat makna dari agen-agen negara untuk dikembalikan, memberikan ruang kepada siapa pun, dengan bahasa dan rasionalitasnya sendiri. Ini sebagai proses pemberdayaan, proses resistensi. Apakah itu bisa menghadirkan sesuatu yang radikal, itu bisa kita lihat nanti. Tapi terlebih yang bisa kita lihat adalah pada upayanya itu sendiri, bahwa kita tidak sepenuhnya bisa dihegemoni oleh pusat.
Sudjud: Kesimpulan sementara mengenai dua sisi yang bisa dihadirkan bagaimana persepsi yang optimis atau pesimis.
Krisna Murti (forum): Sebetulnya ada banyak hal yang didapat dari pameran ini. Yang penting adalah budaya media baru, dimana sebenarnya kita sudah berada dalam situasi budaya media baru itu sendiri. Bagaimana kita menjelaskan media baru sebagai budaya itu? Media baru itu ternyata ada urusan dengan perilaku baru, hukum-hukum baru, norma-norma baru, realitas baru yang muncul di sana. Ketika new media art ada medium video seperti muncul dalam pameran ini, sebenarnya kemunculannya sudah cukup lama, bagaimana perkembangan video game berkembang hingga saat ini. Video sering diartikan sebagai another film atau end product, yang menurut Krisna itu tidak benar. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mengenal media video dalam berbagai formatnya (video game, video calls, video interactive dsb). Penjelasannya adalah perbedaan peran kamera yang sangat berbeda ketika kamera jaman dulu, dimana saat ini fungsi kamera lebih dari sekadar merekam, tapi juga bisa menampilkan. Digital art itu berbicara mengenai interaktif, video itu tidak ditonton, tetapi bagaimana penonton dilibatkan di sana. Generasi sekarang ini tidak bisa melawan 100%, kadang-kadang pleasure, entertainment, kadang-kadang statement.
Alia (forum): Tertarik dengan isu yang dimunculkan Dodo. Setuju dengan pernyataan St.Sunardi. Ada proses komunikasi yang tersendat, kalau tidak bisa dibilang nggak nyambung. Dari diskusi ini saja, ada bahasa/cara berkomunikasi yang berbeda antara seniman, intelektual dengan awam. Di satu sisi setuju dengan Nico mengenai perayaan mengenai pluralitas. Persoalannya adalah juga tidak bisa dibiarkan ketika perbedaan ini didiamkan terus-menerus. Maka perlu dibangun ‘jembatan’ untuk berbagai bahasa/proses komunikasi yang berbeda ini. Yang perlu dikembangkan juga adalah sikap terbuka menerima perbedaan ini juga.
St.Sunardi: Tujuan statement saya, supaya kita menjadi honest ketika melihat karya-karya video di sini. Saya setuju dengan Budi. Teknologi dulu muncul sebagai ekstensi kebutuhan kita. Ini ada pembalikan di sini. Jadi teknologi dipakai untuk menjadi ‘saya’, tidak menjadi ekstensi. Seperti statement Warhol, I want to be a machine, tetapi begitu menelan teknologi tersebut mentah-mentah, malah tidak menjadi apa-apa, merasakan menjadi mesin itu menjadi tidak bisa kita rasakan lagi. Soal meaning, saya setuju dengan Zamzam. Kita mulai lagi dengan mengumpulkan kode-kode itu. Misalnya salah satu karya di sini yang bercerita tentang muncul dan tenggelamnya desire (bahasa verbalnya), apakah itu bisa berhasil disubversi oleh pengalaman visual kita atau tidak, atau malah sebaliknya? Itu kesulitan kita membuat kodifikasi.
Teguh (peserta festival): Saya lebih electronic musician. Pertanyaannya adalah seberapa wanted masyarakat lokal di sini mengenai festival ini? Seberapa apresiatif masyarakat menghargai teknologi? Karena saat ini, kebanyakan sekarang adalah bukan pemenuhan kebutuhan tapi lebih pada penyalahgunaan teknologi. Pengalaman membuat karya visual, ini merupakan karya pertama.
Sudjud: Aliaà bahwa budaya media adalah khas generasi yang melek teknologi.
Taufik (forum): Tertarik dengan kata gerakan, apakah yang menjadi, yang bisa membangun ke arah sana? Apakah memang ada satu bentuk komitmen? Adakah satu bentuk solidaritas menghadapi kemungkinan gerakan video art ini? Karena masyarakat sekarang seperti tanpa solidaritas.
Sudjud: Basis produksi generasi sekarang, apakah kalau itu memang pleasure bisa membangun semangat resistensi? Dimana perkembangan teknologi di sini belum maksimal.
Nico: Soal gerakan, mencoba memaksakan satu makna tersendiri sesuai subyektifitas saya sendiri. Kita harus bicara juga soal pengalaman yang terbagi. Kita masih sulit melihat ini sebagai suatu gerakan kultural. Bagaimana merayakan perbedaan tersebut dan menemukan satu platform. Suatu saat mungkin kita akan mempunyai sasaran kritik yang sama, hanya ketika kita menyadari bahwa ada persoalan tertentu dengan bahasa yang berbeda mungkin bisa menjadi suatu gerakan.
Zamzam: Hubungannya dengan penonton, apakah ini worthed atau tidak. Kenapa tidak ada workshop khusus untuk penonton? Apa gunanya festival ini buat penonton? Dimana sebenarnya ada kebutuhan untuk itu.
St. Sunardi: Kalau kita mau serius, kita harus mengetahui aesthetic of culture in the noise of culture. Dalam situasi yang bising ini pun kita tetap harus ngomong. Jadi kita harus mengelaborasi kediaman itu sendiri.
Budi Irawanto: Video sebenarnya adalah of the means of transendence... festival ini mampu melibatkan berbagai kalangan muda dengan macam latar belakang, dimana sangat berbeda situasinya dengan seniman video asal Fresnoy yang memang mempunyai background khusus tentang itu. Seberapa besar festival ini menemukan ciri khasnya/identitasnya.
Christoper: Dua hal, saya juga tidak mengetahui apa pun dalam karya-karya tersebut. Idenya adalah melihat apa saja dengan mencoba mengetahui apa saja. Kita tidak harus pada level yang sama untuk mengetahui satu sama lain. Kita berbicara dalam bahasa yang berbeda.
Marie: Kita menghadapi isu yang sama di Perancis. Bahwa event ini bagaimana peran kurator untuk membuat event ini lebih bisa dimengerti, aksesibel dan dipahami. Kita membutuhkan event untuk anak muda terutama yang bekerja dengan video, bagaimana media ini sangat familiar dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Kita perlu mengambil jarak sedikit untuk bisa mengetahui apa yang dibutuhkan publik sebenarnya.