Wednesday, October 31, 2007

Following the City Through Sketches

Muji Harjo, 'Ngejaman Kraton Yogyakarta', mixed media on paper, 30 x 42 cm, 2007

Sketches and Photography Exhibition ‘MATA-MATA JOGJA’
Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta
3 – 18 November 2007

FOLLOWING IN THE CITY THROUGH SKETCHES
Mikke Susanto-Curator
Exhibition Participants: Denny ‘Snod’ Susanto / Deskhairi / M. Alfairuzha Hasby / M. Fadhlil Abdi / Masriel / Muji Harjo / WM. Hendrix
At glance, the sketches are similar to simple drawings of objects. But if we look at them in details, those drawings or drawn objects are such previews and documentation illustrating the recent situation of Jogjakarta. They are of a city with unique character entering by the edge of a change. The cycle of the change is not only rooting in the terrain of its human life but also relating to the natural change. It is probably affected by the earthquake hit the city a year ago and the way of thinking of the community members inflicted by another civilization ilfiltrating in the spaces and city planning of Jogjakarta as well.
These likely trivial pictures cover a thousand of memories to any one in fact. In the middle of this appalling change, the unavoidable turmoil, and uncertain situation have given rise to an awareness to carry out documenting in the early time. Furthermore, we have to set up things within the change itself. We have to move forward, create a new civilization. Furthermore, we have to get ourselves settled on within the change itself. It is important to be noticed that we hold local values and documentation of the glorious past. Therefore, sketches instead of photography become the very effective simple ways to reach the aim. One of the points to be stressed in this exhibition is that sketches and photography are proper to be put together as the vital instruments to life documentation. It is very reasonable to have this sketch exhibition The Eyes of Jogja arranged jointly with the photography exhibition Objective Paris at Jogja Gallery.
Through these simple works, we will see “a visual diorama” represented in the media of pencils, pens, Chinese ink, and water colors on papers. All of the sketches displayed in the exhibition room (some of them are printed in post cards) have a function to trace the last situation of Jogjakarta. They are of many kinds of things shown; the old historical buildings (there are also the photos of old buildings in Jogjakarta for a comparison), spreading rice-fields in a village, life portraits, plants, traditional weapons, and some traditional meal available until today. They are the works of the young artists staying and living in Jogja for years. With the academic capacity they have when studied sketch at ISI Yogyakarta, I dare to say that their works are good to be apreciated.

Tuesday, October 16, 2007

Dari Pameran ke Pameran


Sebuah Evaluasi untuk 1 Tahun Berdirinya Jogja Gallery [JG]
Oleh Nunuk Ambarwati*
Tulisan ini disampaikan sebagai bentuk evaluasi kinerja Jogja Gallery yang telah berjalan setahun [September 2006 – September 2007]. Penulis yang juga merupakan staf internal Jogja Gallery berupaya senetral mungkin dalam menyampaikan hasil tulisannya. Terima kasih atas dukungan semua pihak terhadap Jogja Gallery selama ini. Semoga bermanfaat.

Sudah lebih dari setahun lalu, tepatnya awal Agustus 2006, ketika penulis akhirnya berani menerima ‘tantangan’ untuk ikut membangun sebuah galeri baru, Jogja Gallery di sebuah kota budaya, Yogyakarta. 19 September 2007 ini, genap setahun Jogja Gallery berdiri dan terbilang aktif. Hingga akhirnya penulis menerima tawaran untuk menerima tanggung jawab sebagai program manager pada waktu itu, memakan waktu dan pikiran. Banyak pertimbangan berkecamuk ketika masih menyangsikan kemampuan diri sendiri, dimana hampir senada dengan banjirnya kritik, respon sebelah mata menyambut berdirinya Jogja Gallery kala itu. Mulai dari untuk apa sebuah galeri baru berdiri di tengah kondisi stagnannya seni visual Indonesia dari pengaruh pasar atas gencarnya karya-karya perupa China kala itu.
Juga perihal tanda tanya publik mengenai siapa saja ‘oknum’ di balik berdirinya galeri tersebut, akankah menjadi jaminan sebuah galeri bisa diandalkan dan dibanggakan, apalagi menggunakan nama kota sebagai brand-nya. Jogja Gallery murni dibangun dari dukungan investor. Seperti sudah diketahui, dimana rata-rata pendiri galeri di Indonesia adalah orang asing, tetapi tidak dengan Jogja Gallery. Para pendiri Jogja Gallery yang kesemuanya berasal dari Yogyakarta tersebut adalah KGPH Hadiwinoto, Sugiharto Soeleman, KRMT Indro ‘Kimpling’ Suseno, Bambang Soekmonohadi dan Soekeno. Sorotan tajam publik Yogyakarta khususnya tertuju kepada Direktur Eksekutif, KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno, yang lebih dulu dikenal sebagai akitifis event organizer piawai di kota ini. Mau jadi apa Jogja Gallery, siapa saja yang bakal pameran di sana, jenis pameran apa saja yang bakal dipresentasikan? Mau sampai kapan galeri bisa hidup? Hingga masalah profit yang bakal diraup galeri ditengah lesunya pasar? Tak kalah seru juga semacam beban yang harus ditanggung, ketika merangkul Mikke Susanto dan M.Dwi Marianto sebagai tim kurator awal yang membidani program-program pameran di Jogja Gallery. Hingga menempatkan penulis sebagai program manager. Meski kemudian, M. Dwi Marianto megundurkan ditengah-tengah berjalannya proses [tepatnya awal Februari 2007].
Berdirinya Jogja Gallery waktu itu sepertinya belum bisa mengakomodasi kebutuhan dan kecenderungan tren seni visual yang berkembang. Sehingga memunculkan kritikan-kritikan pedas dari publik atas berdirinya galeri baru ini. Bentuk kesangsian bahkan kekhawatiran di masa depan atas mubazirnya membangun sesuatu yang tidak ditangani oleh orang yang tepat di bidangnya. Demikian asumsi penulis.
Sumber daya manusia
Hal-hal tersebut tak dipungkiri mempengaruhi psikologis kerja para staf Jogja Gallery sehari-hari. Memilih sumber daya manusia atau para staf untuk diposisikan pada masing-masing yang kompeten bidangnya. Untuk bersama sebagai tim yang solid, membangun sebuah galeri baru ditengah banyak sorotan, bangunan megah yang berposisi strategis di titik nol kilometer, fasilitas ruang pamer lebih dari galeri lainnya di wilayah Yogyakarta. Bagaimana bisa mendatangkan publik ke ruang pamer dengan tiket masuk. Dimana hal tersebut belum menjadi kebiasaan publik ketika mengunjungi ruang pamer. Memberikan persepsi positif untuk setiap kali even pameran yang diselenggarakan dengan target-target keberhasilan yang selalu dipertaruhkan.Tantangan-tantangan tersebut bukan hal mudah bagi kami para staf ketika menerima Jogja Gallery sudah sedemikian adanya. Apalagi bagi para staf yang belum mengetahui bagaimana hiruk pikuknya di belakang layar ketika memutuskan mendirikan Jogja Gallery. Mengapa brand color warna hijau yang dipilih. Mengapa desain arsitektur konvensional ala Keraton Yogya yang digunakan, dan seterusnya.
Berbagai konflik internal turut mewarnai tumbuh dan berkembangnya Jogja Gallery. Seleksi alam terus berlaku, staf datang dan pergi, ada yang bertahan dan sebaliknya, menyesuaikan dengan tingginya kriteria sumber daya manusia yang dibutuhkan. Staf atau sumber daya manusia ini menjadi satu hal sangat penting yang penulis sadari untuk menjadi perhatian. Membentuk tim yang solid dan tetap bekerja dengan bisa membedakan batas profesional dengan personal. Dewan direksi mau pun manajemen terus memotivasi tim untuk bekerja sebaik dan semaksimalnya, juga mendelegasikan kerja seefektif mungkin. Hingga siap meng-counter berbagai persepsi negatif yang mungkin timbul atau berkembang dari eks staf atas ketidakpuasan atau ketidakcocokan dalam bekerja. Dimana di Jogja Gallery, manajemen sangat menyadari bahwa tidak melulu memiliki latar belakang seni rupa menjadi jaminan seorang staf bisa bekerja, demikian sebaliknya. Kemauan dan saling belajar dari kesalahan dan pengalaman lebih diutamakan untuk selalu dicatat dalam ‘buku teori’ sebagai pelajaran di masa mendatang.
Untuk itu, hanya waktu dan proses yang bisa membuktikan hasil kerja keseluruhan. Saling memotivasi, memberi dukungan di sela tingginya frekuensi kerja menyiapkan pameran dan mengubah kritikan tersebut menjadi dorongan positif. Baru satu tahun eksis, sangat belum cukup menjadi ukuran keberhasilan. Masih harus menyiapkan nafas panjang, pikiran positif dan tenaga yang selalu segar untuk menyiapkan even-even berikutnya.
Manajemen yang berbenah
Terus-menerus menciptakan inovasi merupakan salah satu bagian dari bentuk survive yang dilakukan Jogja Gallery. Untuk sekadar bisa hidup, merupakan misi awal yang tak terlalu muluk di tengah kompetisi pasar seni rupa Indonesia. Pasar yang penulis nilai sebenarnya tidak cukup sehat baik di Indonesia mau pun global. Pembenahan pada level manajerial terus dilakukan berdasarkan berbagai ‘benturan’ yang ditemui langsung di lapangan. Pujian mau pun komplain diubah menjadi siasat dan strategi yang tak henti dibenahi untuk terus bisa bertahan. Maka manajemen Jogja Gallery sepakat untuk memaknainya sebagai manajemen yang terus berbenah. Suatu kebijakan atau ketentuan bahkan bisa terus diupdate per minggu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik.
Seiring meningkatnya aktifitas dan keberhasilan tiap penyelenggaraan pameran di Jogja Gallery, sorotan publik pun semakin kuat. Sorotan tersebut dirasakan menyeluruh, tidak melulu pada tema, muatan mau pun karya dalam tiap kali pameran yang diselenggarakan, juga kepada manajemen internal hingga tiap person yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut jelas menyemangati manajemen Jogja Gallery untuk terus meningkatkan kualitas tiap even yang digelarnya dengan dibarengi niatan positif untuk turut memajukan infrastruktur seni rupa Indonesia. Dalam hal ini penulis lebih fokus pada sistem manajemen dan pasar yang berkembang dengan luar biasa mengejutkan dan kadang sangat sulit diprediksi. Di saat lukisan memasuki dunia bisnis yang sebenar-benarnya, maka mungkin kita harus menanggalkan ‘pesan’ dari lukisan tersebut. Siapa yang bermodal besar dia yang menguasai pasar. Modal bahkan bisa membentuk selera. Kita pun terseret berlaku dalam pasar yang sesungguhnya tersebut. Perilaku para pelaku pasar ini kadang membuat penulis gerah. Bahkan ketika perupa ikut terjun di dalam pasar itu sendiri. ‘Permainan-permainan’ dilancarkan para pelaku pasar. Jogja Gallery menyadari hal tersebut dan sebagai salah satu pelaku pasar kita harus jeli dan tidak terjebak dalam ‘permainan’ tersebut. Berani menentukan sikap dan berlaku tegas dengan ketentuan yang disepakati dalam manajemen, menjadi modal untuk menentukan arah misi dan visi galeri di tahun-tahun mendatang.
Itu baru salah satu sisi ekternal yang mempengaruhi pembenahan manajerial. Sisi internal yang menjadi pekerjaan rumah manajemen Jogja Gallery adalah para pelaku modal atau investor galeri ini sendiri. Penulis berupaya untuk masing-masing person di dalamnya menjalankan fungsi sesuai porsinya. Dimana tidak semua person di Jogja Gallery memiliki cukup banyak bekal untuk siap bertarung di dunia seni rupa. Bahkan bekerja di dunia kreatif seperti di galeri seni rupa seperti Jogja Gallery, harus bisa berkompromi dengan segala hal. Ketika harus mahfum untuk menekan idealisme tanpa mengurangi kualitas even yang bakal digelar dan sebagainya.
Catatan presentasi**
Dari September 2006 ke September 2007, tercatat telah menggelar 16 even pameran seni visual. Pada awal berdirinya Jogja Gallery, memang diniatkan dalam setahun pertama untuk menggelar pameran kelompok dengan media beragam, tidak melulu seni lukis. Hal tersebut diupayakan untuk mengakomodasi berbagai varian [media, aliran mau pun generasi perupa] yang ada di Indonesia terutama di Yogyakarta. Diharapkan dari misi tersebut di atas, Jogja Gallery mampu menempatkan posisinya terlebih dulu sebagai ruang pamer baru di Yogyakarta yang membuka dirinya bagi siapa pun. Kalau pun ada satu pameran tunggal yang pernah berlangsung ketika usia Jogja Gallery masih seumur jagung, yaitu pameran karya Hanafi (13 Januari – 2 Februari 2007), hal tersebut berdasarkan proposal masuk, dan pada akhirnya disetujui kurator dan manajemen Jogja Gallery. Maka definisi pameran tunggal di sini adalah pameran tunggal yang didanai, diorganisir dan dipromosikan sepenuhnya oleh pihak Jogja Gallery.
Menurut penulis, ada sedikit salah perhitungan dari pihak investor ketika membangun fisik Jogja Gallery. Dana yang disetorkan oleh para investor terlanjur membengkak untuk menyempurnakan bangunan fisik galeri tersebut. Sehingga tidak atau belum terpikirkan untuk menyalurkan dana operasional guna operasional sehari-hari atau penyelenggaraan pameran tiap bulannya. Hal tersebut berimbas kepada dana tiap penyelenggaraan even di Jogja Gallery. Tim manajemen terkesan terengah-engah untuk terus-menerus mencari sponsor untuk tiap penyelenggaraan pameran, demikian halnya ‘tuntutan’ untuk memberikan masukan dari hasil penjualan karya. Hal tersebut memang sah ditujukan kepada manajemen Jogja Gallery, dimana memang galeri ini murni swasta, sebuah perseroan terbatas tepatnya.
Beberapa target keberhasilan sebuah even pameran selalu dipasang. Paling tidak untuk saat ini bagi Jogja Gallery target-target yang harus selalu diingat dan terus-menerus diharapkan peningkatannya dari pameran ke pameran adalah: a. jumlah pengunjung [pengunjung harian dan apresiasi untuk pelajar], b. target pemasukan [sponsor dan penjualan karya], c. media coverage.
Jogja Gallery selalu mengedepankan beberapa unsur dalam setiap even pameran yang digelar, yakni unsur idealisme, edukasi, apresiasi, entertainmen dan komersial. Meski untuk tiap kali pameran akan selalu berbeda prosentase tiap unsurnya. Sebagai contoh dalam pameran ‘Eksisten’ (27 Februari – 25 Maret 2007) unsur komersialnya akan memiliki prosentase lebih tinggi dibanding dengan pameran ‘Transposisi : Lukisan-lukisan Kolektor Jateng –DIY (22 Mei – 26 Juni 2007) yang lebih tinggi prosentasi edukasi dan apresiasinya. Kelima unsur tersebut dikolaborasikan sedemikian rupa guna lebih memantapkan positioning Jogja Gallery di dunia seni rupa Indonesia.
Dalam tiap kali menyelenggarakan evennya, Jogja Gallery memperhatikan proses regenerasi perupa dengan membuka peluang kompetisi atau undangan terbuka untuk berkarya. Yakni pada pameran ’40 Perupa Muda Terdepan Indonesia: Young Arrows’ (2 Desember – 5 Januari 2007), ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’ (20 April – 9 Mei 2007) dan ‘200 Tahun Raden Saleh: Ilusi-ilusi Nasionalisme’ (18 Agustus – 9 September 2007). Selain bertujuan menjaring perupa muda baru dan berbakat, peluang kompetisi tersebut juga merupakan bentuk promosi Jogja Gallery menempatkan positioning-nya di jagat infrastruktur seni rupa Indonesia. Di samping itu pula mengukur demand salah satu stakeholder Jogja Gallery yaitu perupa atas keberadaan galeri itu sendiri. Seberapa besar Jogja Gallery dibutuhkan keberadaannya? Atau seberapa besar minat perupa atas kurasi yang ditawarkan? Dari ketiga peluang yang Jogja Gallery tawarkan tersebut rata-rata 100-an proposal masuk untuk diseleksi. Dan hingga kini, para perupa terus menunggu hadirnya kompetisi baru yang dibuka, mengingat telah cukup lama Indonesia vakum dari kompetisi seni rupa bergengsi.
Meski demikian, pameran seni lukis mendominasi dari sekian pameran yang telah dilaksanakan di Jogja Gallery. Hal tersebut terjadi karena diperkuat dengan latar belakang sebagai berikut:
  1. Potensi profit pasar seni visual Indonesia yang memang masih dominan terhadap seni 2 dimensi, terutama seni lukis.
  2. Demikian halnya, respon tinggi untuk mempresentasikan karya-karya datang dari perupa-perupa 2 dimensi/seni lukis.
  3. Tuntutan [secara tidak langsung] internal Jogja Gallery untuk menampilkan karya-karya yang mengakomodasi selera mereka, paling tidak dalam waktu setahun tersebut.
  4. Hal teknis cukup menjadi pertimbangan penyelenggaraan pameran non 2 dimensi, misal ketersediaan alat dan infrastruktur pendukung, juga biaya yang lebih besar dibanding menyelenggarakan pameran 2 dimensi.
Dari ke 16 even tersebut, 5 diantaranya merupakan hasil kerja sama dengan pihak lain. Yaitu:
  1. Pameran seni lukis ‘Pallinjang: Salt Water’, kerja sama dengan Wollongong University, Australia (19 September – 20 November 2006).
  2. Pameran seni visual tunggal ‘Id: Hanafi’ karya Hanafi, kerja sama dengan O House Gallery, Jakarta (13 Januari – 2 Februari 2007).
  3. Pameran seni lukis ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’, bekerja sama dengan Kedutaan Tunisia di Jakarta (10 – 20 Februari 2007).
  4. Pameran seni visual ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’, bekerja sama dengan UNESCO Office, Jakarta dan beberapa mitra lainnya (20 April – 9 Mei 2007).
  5. Pameran seni lukis ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’, bekerja sama dengan Global Art, Yogyakarta (10 – 12 Agustus 2007).
Definisi kerja sama di sini adalah even tersebut diroganisir oleh Jogja Gallery dan mitra [dengan porsi masing-masing lembaga berbeda tiap kali penyelenggaraan], dalam hal pendanaan, mengorganisir pameran, penyediaan material pameran, publikasi, promosi, penjualan karya dan sebagainya.
Respon Publik
Dari berbagai presentasi pameran tersebut, sambutan publik luar biasa menarik dan positif bisa penulis kumpulkan. Sambutan tersebut dikumpulkan dari media coverage, buku kritik saran setiap pameran yang diselenggarakan mau pun masukan lisan kepada Jogja Gallery. Pada intinya, para perupa membutuhkan ruang pamer untuk menggelar dan mempromosikan karya-karya mereka. Demikian pula sebaliknya, galeri membutuhkan karya-karya berkualitas dari para perupa. Berbagai bentuk tawaran kerja sama untuk bisa mempresentasikan karya terus berdatangan ke Jogja Gallery. Kesempatan untuk bisa berpameran di Jogja Gallery ini didorong oleh beberapa faktor antara lain karena representasi sebuah ruang pamer yang baru, fasilitas yang cukup memadai, tempat yang strategis dan prestisius, manajemen yang tertata apik. Dari berbagai sumber, penulis bisa menyimpulkan positioning Jogja Gallery di mata publik untuk saat ini adalah sebuah ruang pamer dengan fasilitas dan aktifitas pameran berskala nasional bahkan internasional dengan segmen publik kelas menengah ke atas yang menampilkan karya-karya berkualitas. Selamat ulang tahun yang pertama Jogja Gallery, sukses selalu sukses!
Catatan kaki:
* Penulis masih tercatat sebagai Program Manager Jogja Gallery dan terlibat sejak awal digelarnya pameran perdana ‘ICON: Retrospective’ di sana.
** Baca pula tulisan ‘Summary Pameran Jogja Gallery’ untuk lebih detailnya.
*** Buku referensi:
1.
‘How to Get Ahead in Business’, Richard Branson, Virgin Books, London, 1993.
2.
‘Managing Museums and Galleries’, Michael A. Fopp, Routledge, New York, 1997
3.
‘Art Marketing 101: A Handbook for the Fine Artist’, Constante Smith, Artnetwork, USA, 2002
4.
Berbagai sumber.

Saturday, October 06, 2007

Thursday, October 04, 2007

SETELAH 20 MEI*

Kompetisi Terbuka Jogja Gallery, 2008
Pameran Seni Visual ’100 th KEBANGKITAN NASIONAL’
SETELAH 20 MEI*
Jogja Gallery, Yogyakarta, 20 Mei - 8 Juni 2008
Kompetisi ini diselenggarakan untuk turut memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang akan jatuh 20 Mei 2008. Melalui kompetisi ini, Jogja Gallery mengajak para perupa untuk ikut merespon isu kebangkitan nasional. Dimana dalam kurun waktu 100 tahun, kebangkitan nasional bagi kalangan muda Indonesia memiliki penyikapan yang beragam sesuai riuhnya globalisasi yang tak bisa disangkal turut memberi pengaruh pada pola pikir, penyikapan, gaya hidup bahkan kepribadian personal mau pun bangsa Indonesia sendiri. Hasil dari kompetisi seni visual terbuka ini akan dijaring karya-karya [dengan media bebas] yang akan dipamerkan di Jogja Gallery mulai tanggal 20 Mei – 8 Juni 2008. Kompetisi ini juga bertujuan untuk mendapatkan perupa-perupa berbakat dengan mengedepankan kualitas karya melalui penyikapan semangat kebangkitan nasional terkini!
Abstraksi
Dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA, pada 20 Mei 1908 di Jakarta secara resmi terbentuk perhimpunan nasional Indonesia, Budi Utomo. Secara mendasar perhimpunan itu bertujuan untuk mencapai keharmonisan bangsa dengan memajukan sektor pendidikan, pertanian, peternakan, perdagangan, teknologi dan kebudayaan; serta bertujuan meningkatkan citra bangsa menjadi lebih terhormat dengan cara mempersatukan bangsa dengan mencapai kemerdekaan. Sepenuh-penuhnya.
Melihat upaya yang dilakukan oleh para pejuang bangsa (saat itu Budi Utomo dipimpin oleh para dokter, jaksa, guru, opsir legiun), pantaslah jika kita kini melihat kembali upaya mereka sebagai cerminan. Seratus tahun silam—bertepatan pula dengan 10 tahun reformasi—bangsa ini melakukan kebangkitan secara serempak. Namun, di masa ketika kita harus mempertahankan bangsa dari amuk ribuan persoalan dan jatuhnya moral para individu, apa yang bisa kita tarik dari sana? Salah satunya adalah mulai melirik kembali sejarah untuk memunculkan semangat baru: bangkitnya akal budi, hormat pada aturan & moral, serta sepenuhnya merdeka bagi setiap orang. Tanpa was-was.
Didorong oleh momen bersejarah itulah, dengan bangga Jogja Gallery mengundang Anda para perupa seluruh Indonesia untuk bersama bergabung dalam pameran peringatan ini yang akan berlangsung 20 Mei – 8 Juni 2008. Seperti halnya kata sang ”mutiara bangsa” Onze Tjip--Tjip Kita, panggilan tokoh penting Budi Utomo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo--bahwa bukan persoalan pertentangan Timur & Barat, Hindia & non-Hindia, melainkan penaklukan dalam segala bentuk yang harus dilarang. Sejarah mengajarkan kita untuk tidak tunduk dan takluk pada keadaan yang tertekan, dan yang lebih penting dari itu adalah menjaga agar setiap anak bangsa ini punya etika yang sehat. Sesehat-sehatnya.
Pameran ini mengharapkan karya-karya seni rupa Anda yang memiliki beberapa kerangka pemikiran.
Pertama, secara tematik bisa menggambarkan—misalnya secara ilustratif/realistik—situasi pada saat berlangsungnya peristiwa dalam Sejarah Kebangkitan Nasional.
Kedua, menggambarkan citra para tokoh yang berperan di dalamnya dan sejauh mana semangat kebangsaan dan perjuangan mereka dalam memerdekakan bangsa.
Ketiga, memberi edukasi bagi sebagian besar individu bangsa ini untuk mengetahui gejolak pemikiran dan wacana (politik, kebudayaan & sosial) yang ada saat itu, secar khusus dalam sejarah Kebangkitan Nasional.
Keempat, menarik benang merah atas peristiwa tersebut dengan berbagai kejadian atau fenomena yang saat ini berlangsung di Indonesia: rasa nasionalisme, hilangnya harta atau beberapa pulau atau tradisi lokal di Indonesia, semangat ”berpecah-belah” yang kini mulai terasa, dan sebagainya.
Dengan demikian karya-karya yang akan ditampilkan dalam pameran ini merujuk secara sistemis dan berupaya untuk menggambarkan secara menyeluruh rangkaian sejarah Kebangkitan Nasional Indonesia. Melalui riset yang dilakukan oleh perupa, melalui berbagai perenungan terhadap peristiwa negeri ini, melalui peringatan ini, kekurang-populeran peristiwa Kabangkitan Nasional (misalnya di mata anak muda saat ini) dapat lebih bergema. Nasionalisme dan perjuangan harus tetap berlangsung, apalagi berjuang untuk ”melawan lupa”.
*) judul diambil dari tulisan Goenawan Mohamad dari Nirwan A. Arsuka (editor), Kata, Waktu, Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001, Jakarta, Pusat Data & Analisa TEMPO, 2001.
Terdapat banyak bacaan & referensi yang dapat dipakai, antara lain:
  1. Manuel Kaisiepo, ”Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo, Dari ”Kebangkitan Jawa” ke ”Kebangkitan Nasional”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
  2. Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Boedi Oetomo, 1908-1918, Tokyo Institute of Developing Ecomonic, 1972. / [Versi Bahasa Indonesia] Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989
  3. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985.
  4. Takashi Shiraishi, ”Impian Mereka Masih Bersama Kita”, dalam JB. Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000.
  5. Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta: Gramedia, 1999.
TemaSejarah & Kreativitas Berbangsa’.
Kriteria Seleksi
  1. Kompetisi bersifat terbuka, berskala nasional, tanpa batasan usia.
  2. Peserta perorangan atau kelompok.
  3. Jenis dan media berkarya bebas.
  4. Karya harus asli, didasarkan pada ide yang orisinal, tidak sedang diikutkan dalam kompetisi yang lain dan bersedia untuk dijual.
  5. Ukuran untuk karya 2 dimensi tidak melebihi 300 x 300 cm.
  6. Ukuran untuk karya 3 dimensi 100 x 100 x 300 cm.
  7. Sedangkan seni instalasi/ multimedia menyesuaikan.
  8. Selain artistik, tema karya berdasarkan sejarah yang relevan atau berbasis pada kesadaran kreatif dalam berbangsa, serta menciptakan situasi yang membuka peluang bagi kemajuan bangsa di segala aspek (lebih khusus lihat paragraf akhir dalam pengantar pengumuman ini).
  9. Wajib menyertakan foto karya yang diikutkan seleksi tahap pertama, dengan ukuran 10 R-glosy, dikirim bersama dengan konsep karya, biodata & foto perupa serta informasi detail karya, diketik rapi.
  10. Khusus untuk karya 3 dimensi, harap memberikan foto detail karya.
  11. Khusus untuk karya multimedia, harap menyertakan berkas karya pendukung, misal CD interaktif dan sebagainya.
  12. Panitia tidak menerima kiriman foto karya dan sebagainya melalui surat elektronik (email).
Waktu pelaksanaan
  1. Seleksi tahap pertama, 20 Maret 2008, dengan materi seleksi foto karya; sehingga sangat diharapkan foto karya diterima oleh panitia paling lambat tanggal 15 Maret 2008, pukul 21.00 WIB [bukan cap pos].
  2. Seleksi tahap kedua, 10 April 2008 à peserta mengirim karya secara langsung dengan ke Jogja Gallery.
  3. Setiap karya yang masuk dalam pameran adalah yang berhasil melalui 2 tahap penjurian. Karya-karya yang tidak lolos seleksi tahap kedua bisa diambil kembali oleh peserta.
Penghargaan
  1. Sekitar 50 karya terpilih akan dipamerkan dalam pameran seni visual 100 tahun Kebangkitan Nasional ‘Setelah 20 Mei’, di Jogja Gallery, 20 Mei – 8 Juni 2007.
  2. Dewan juri akan menetapkan 5 besar karya terbaik dan akan mendapatkan penghargaan berupa uang masing-masing Rp. 3.000.000,- dan sertifikat.
  3. Pengumuman pemenang pada tanggal 1 Mei 2008 akan diumumkan baik secara personal maupun melalui situs kami.
  4. Keputusan dewan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
  5. Hal-hal lain yang belum jelas dapat ditanyakan ke Jogja Gallery.
Dewan Juri
  1. Prof. Soedarso Sp. MA. (Sejarawan Seni & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
  2. dr. Oei Hong Djien (Kolektor & anggota dewan penasehat Jogja Gallery)
  3. Mikke Susanto, S.Sn. (Staf Pengajar FSR ISI Yogyakarta & Kurator Jogja Gallery)
Selamat bekerja dan kami tunggu karya Anda.
Semua berkas silakan kirim ke
Panitia Kompetisi Seni Visual ’100 th Kebangkitan Nasional’
Nunuk Ambarwati [+62 81 827 7073]
R. Daru Artono [+62 856 4389 8779]
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email : jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com


Wednesday, September 19, 2007

Summary Pameran Jogja Gallery



TENTANG JOGJA GALLERY [JG]

Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY] merupakan kota budaya, bersejarah dan potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu pusat tujuan pariwisata internasional. Sebagai kota yang memiliki kekayaan seni dan seniman-seniman bertaraf dunia, Yogyakarta memerlukan gebrakan baru dalam memfasilitasi potensi tersebut, dan hal yang belum dimiliki adalah sebuah galeri seni dengan kualitas dan tekonolgi bertaraf internasional. Untuk itu Jogja Galleru hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan seni visual Indonesia

Jogja Gallery [JG], sebagai ‘Gerbang Budaya Bangsa’ berdiri di Yogyakarta, 19 September 2006. Diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY], Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bertempat di 0 (nol) kilometer atau Alun-alun Utara, berada di kawasan heritage, pusat kota Yogyakarta, menempati bekas gedung bioskop Soboharsono (berdiri 1929) yang telah berfungsi sejak jaman penjajahan Belanda. Jogja Gallery sebagai galeri seni visual yang didirikan oleh PT Jogja Tamtama Budaya, bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (selaku pemilik tanah dan bangunan) membawa peran penting yaitu sebagai media pertemuan antara pekerja seni dengan masyarakat luas. Program pelayanan publik yang telah dirancang antara lain pameran berkala, kerja sama non pameran, friends of Jogja Gallery, perpustakaan, art award forum, lelang karya seni, art shop, kafe dan restoran.

STRUKTUR ORGANISASI JOGJA GALLERY
Dewan Pengawas : KGPH Hadiwinoto, Bambang Soekmonohadi
Dewan Penasehat : Dr. Oei Hong Djien, Prof. Soedarso SP, M.A.
Direktur Utama : Sugiharto Soeleman
Direktur Pengembangan : Soekeno
Direktur Eksekutif : KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno
Kurator : Mikke Susanto
Manajer Program : Nunuk Ambarwati
Manajer Keuangan : Endah Wahyuningsih
Sekretaris : Elly A. Mangunsong, Herdhiningrum Oktya Dewi
Staf Keuangan : Kusuma Febriani Putri
Staf Pameran : R. Daru Artono, Puji Rahayu, Norisma Andi S
Staf Teknis : Nanang Sukriyanto, FX. Dwi Hartanto
Staf Umum : Mudita Arya Kirana, Kuwat
Resepsionis : Suprapti
Staf Keamanan : Soni, Tri, Nur & PT Total Security
Desainer grafis : Dimas Bayu Arfianto
Penjaga pameran : Junia Sriwiwita, Zulfan Siahaan, Jeffer Simangunsong
Office boy & cleaning service : CV Yogya Yatra

Jam buka galeri – Selasa – Minggu; Senin tutup, pukul 09.00 – 21.00 WIB
Tiket masuk – Rp. 3.000,- / orang

Jogja Gallery [JG]Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta 55000
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email : jogjagallery@yahoo.co.id
info@jogja-gallery.com
http://www.jogja-gallery.com/


PAMERAN SENI VISUAL DI JOGJA GALLERY
SEPTEMBER 2006 – SEPTEMBER 2007

1+ 2 a. Pameran Seni Visual ‘ICON: Retrospective’ (19 September – 20 November 2006)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: Affandi, Fadjar Sidik, Widayat, Aming Prayitno, Edhi Sunarso, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, G. Sidharta, Sudarisman, Suatmadji, FX. Harsono, Bonyong Munny Ardhi, Hardi, Haris Purnama, Tulus Warsito, Ivan Haryanto, Ronald Manullang, Dede Eri Supria, Moelyono, Studio ‘Brahma Tirta Sari’: Agus Ismoyo & Nia Fliam, Eddie Hara, Heri Dono, Agus Kamal, Boyke Aditya, Nengah Nurata, Ivan Sagita, Sutjipto Adi, Lucia Hartini, Linda Kaun, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Dadang Christanto, Anusapati, Djoko Pekik, Entang Wiharso, Nasirun, Hedi Hariyanto, Agus Suwage, Agung Kurniawan, Hanura Hosea, Kelompok Seni Rupa Jendela, Made Sumadiyasa, Made Sukadana, Putu Sutawijaya, Nyoman Sukari, Noor Sudiyati, Iwan Wijono, Ugo Untoro, S. Teddy D, I Nyoman Masradi, Kelompok Apotik Komik, Komunitas Seni & Budaya Taring Padi, Ruang MES 56, Eko Nugroho & Daging Tumbuh, Abdi Setiawan, Budi Kustarto, the House of Natural Fiber, Yuli Prayitno, pameran ‘Yogyapan-Jepangkarta’: Seiko Kajiura, Yogyakarta Urban Art Movement, Sigit Santoso.

Pameran ini merupakan penanda berdirinya Jogja Gallery. ‘ICON’ mengetengahkan berbagai fenomena, karya atau person yang menjadi tajuk penting pada era 1970-2000 di Yogyakarta. Melalui pameran yang bersifat retrospektif semi dokumenter ini, Jogja Gallery berharap sebagai bentuk awal dari bentuk penghargaan dan terima kasih kami kepada para perupa yang terlibat dan mewarisi dan mengembangkan seni-budaya yang mewarnai budaya kota Yogyakarta ini.

b. ‘Pallingjang : Salt Water’ (19 September – 20 November 2006)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Peter O’ Neill
Seniman peserta: Jo Davis, Robyn Charles, Charles Wilson, Ben Brown, Kevin Maxwell Butler, Marylin (Mally) Smart, Garry Jones, Reggie Ryan, Leanne Morris, Vicki Slater, David Dunn, Lindy Lawler, Lynette Moylan, Gwendolin Stewart, Val Saunders, Jodi Stewart, Georgina Parson, Mathew Carriage.
Pameran koleksi seni lukis Aborigin bekerja sama dengan Wollongong University, Australia.
Merupakan pameran yang menampilkan karya seniman Aborigin dari Illawarra dan South Coast Australia.

3+4 a. ‘Young Arrows: 40 Perupa Muda Terdepan Indonesia’ (2 Desember – 5 Januari 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan dan kompetisi terbuka
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: AC. Andre Tanama, Ade Darmawan, Adi Gunawan, Agus Yulianto, Ahmad Sobirin, Ayu Arista Murti, Caroline Rika Winata, Anang Asmara, AT. Sitompul, Dadi Setiyadi, Dewa Ngakan Made Ardana, Dewi Aditya, Dipo Andi, Eddy Sulistyo, Feri Eka Chandra, G. Prima Puspitasari, Heri Purwanto, I Made Gede Surya Darma, I Made Arya Palguna, I Wayan Kun Adnyana, I Wayan Sudarna Putra, I Wayan Upadana, Januri, AG. Kus Widananto a.ka. Jompet, Laksmi Sitharesmi, M. Yusuf Siregar, Moch. Sofwan Zarkasi ‘Kipli’, Nano Warsono, Polenk Rediasa, Samsul Arifin, Saroni, Setu Legi a.k.a Hestu, Suroso [Isur], Teguh Wiyatno, Terra Bajragosha, Wahyu Santosa, Waluyohadi, Wedhar Riyadi, Wibowo Adi Utama, Wimo Ambala Bayang.

Mengapa diberi judul Young Arrows yang terjemahan harafiahnya ‘anak-anak panah muda’? Frase metaforik ini menerangkan pameran kedua di Jogja Gallery yang mengupayakan hadirnya karya-karya sejumlah perupa yang usianya paling tua 35 tahun. Via pameran ini Jogja Gallery menganggap perlu mengumpulkan karya yang secara menarik merefleksi jaman dari para perupa muda untuk dipamerkan bersama, dilihat secara keseluruhan, guna dimaknai sebagai salah satu fenomena perkembangan kesenirupaan negeri ini.

b. ‘Rhytm and Passion’ (2 Desember – 5 Januari 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto
Seniman peserta: Askanadi, Made Wiguna Valasara, Beatrix Hendriani Kaswara, Nanda Hanifa Kamal, I Wayan Sudjana ‘Suklu’, Yon Indra, Yunizar.

Pameran ini memperlihatkan kecenderungan lain yang menarik dalam perkembangan seni lukis di Indonesia dewasa ini. Kecenderungan yang digulirkan, meskipun secara kuantitas (jika dibandingkan jumlah perupa di Indonesia) terbilang kecil, namun penting dikemukakan sebagai bukti atas bergeraknya dunia pemikiran seni rupa. Kecenderungan menarik yang dimaksud adalah mengarah ke penggunaan salah satu unsur penting dalam kajian seni rupa: garis.

5. ‘Id : Hanafi’ (13 Januari – 2 Februari 2007)
Sifat pameran: tunggal, pameran keliling
Kurator: Jim Supangkat dan Arief Ash Sidiq
Seniman: Hanafi

Pameran tunggal karya seniman Hanafi yang merupakan kerjaa sama O House Gallery, Jakarta dengan Jogja Gallery. Pameran ini merupakan bagian dari pameran keliling Hanafi, yang dikenal dengan karya abstraknya, dimana sebelumnya diselenggarakan di Galeri Nasional, kemudian ke Jogja Gallery, ke Bali dan selanjutnya ke Barcelona, Spanyol.

6+7 a. ‘Bonding the Brotherhood between Tunisia and Indonesia’ (10 – 20 Februari 2007)Sifat pameran: kelompok
Seniman peserta: Abdelmaksoud Najoua, Belkhodja Nejib, Bellagha Ali, Ben Yahia Basma, Bouderbala Meriem, El Bekri Abdelmajid, Gorgi Abdelaziz, Hajjeri Ahmed, Hnene Mokhtar, Karabibene Halim, Mehdaoui Nja, M’Naouar Asma, Thabouti Adbelhamid, Thabti Neji, Zouari Mohamed.

Kerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Tunisia di Jakarta– sebuah pameran seni lukis karya 16 seniman asal Tunisia. Pameran ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan antara dua komunitas: negara, bangsa dan rakyat Tunisia dan Indonesia.

b.‘Agraris Koboi!’ (10 – 20 Februari 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Asisten kurator: Yohanes Sumaryanto Nurjoko
Seniman peserta: Agus Yulianto, Arie Dyanto, Decky ‘Leos’ Firmansyah, Eko Dydik ‘Codit’ Sukowati, ‘Iyok’ Prayogo, Iwan ‘Pandir’ Effendi, Krisna Widyathama, Nano Warsono, Riono Tanggul a.ka. Tatang, Uji ‘Hahan’ Handoko, Wedhar Riyadi.

Pameran ini mengetengahkan fenomena seni rupa kontemporer di Yogyakarta yang konon masih dianggap sebagai bagian dari kultur besar [sub kultur]. Memberi ketegasan untuk menandai mereka, perupa peserta pameran, dalam satu gaya/fenomena yang di sela berbagai kecenderungan yang berkembang di Yogyakarta.

8. Pameran dan bursa seni lukis ‘EKSISTEN’ (27 Februari – 25 Maret 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Exhibition advisor: Heri Pemad
Seniman peserta: Agus Triyanto BR, Aji Yudalaga, Anang Asmara, Anggar Prasetya, Andy Wahono, Bambang Herras, Dedy Maryadi, Denny ‘Snod’ Susanto, Didik Nurhadi, Erizal AS, Hadi Soesanto, Hamdan, Herly Gaya, I Gusti Ngurah Udiantara, I Nyoman Darya, Iwan Sri Hartoko, Julnaidi MS, Kusmanto, Luddy Astaghis, M. Andi Dwi, Nanang Warsito, Nasirun, Nico Siswanto, Niko Ricardi, Oskar Matano, Robi Fathoni, Saepul Bahri, Riduan, Slamet ‘Soneo’ Santoso, Setyo Priyo Nugroho, Sito Pati, Stefan Buana, Wara Anindyah.

Pameran ini diselenggarakan turut merespon pasar malam dan agenda tahunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat: SEKATEN. Dalam pameran ini perupa diharapkan dapat memberi sumbangan kreatif berupa karya-karya yang memiliki tema untuk mengingat kembali keberadaan dan sejarah kota Yogyakarta. Hal ini menarik dilakukan agar publik merasakan kembali bagaimana kota Yogyakarta yang telah berusia 250 tahun ini berjalan.

Meskipun pameran ini pada dasarnya mendukung gebyar pasar malam SEKATEN, tetapi juga menyimpan tujuan yang sangat berarti yaitu memberi rangsangan untuk mengingat berbagai kejadian dan situasi yang telah, sedang dan mungkin akan terjadi di Yogyakarta. Gambaran-gambar tentang berbagai aktivitas (yang menjadi perhatian banyak orang Jogja), polemik (tentang berbagai kebijakan dan kejadian kota), atau ruang-ruang publik Jogja dapat dikaitkan dengan isi dan tema karya yang akan dipamerkan dalam pameran ini. Adapun secara konsep teknis dan visual, pameran ini membuka peluang terhadap berbagai gaya, pendekatan visual maupun aliran pemikiran.

9+10 ‘Domestic Art Objects & StillLife’ (1 – 15 April 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan dan kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Asisten kurator: Ronald Apriyan
Exhibition advisor: Eko Agus Prawoto dan Hermanu
Seniman peserta: Yani Mariani Sastranegara, Hardiman Radjab, Eko Agus Prawoto, F. Sigit Santoso, I Wayan Sudjana ‘Suklu’, Awan Simatupang, I Wayan Cahya, Hadi Soesanto, Noor Ibrahim, Probo, M. Pramono Irianto, Ali Umar, Hedi Hariyanto, Kokok P Sancoko, Grace Tjondronimpuno, Sri Maryanto, Alexis, Waluyohadi, Prilasiana, Indrayanti, Aji Yudalaga, Putu Agus Sumiantara, Ketut Moniarta, Dieta Gambiro, Made Dodit Artawan, Eka Kusumatuti, Hariadi Nugroho, Made Gede Wiguna Valasara, I Putu Aan Juniarta, Khusna Hardiyanto, Koes ‘Doyok’ D, Mochammad Jamaludin, Winarso, Yulius Heru P, Vani HR.

Pameran ini adalah sebuah contoh bagaimana perupa menghilangkan sekat-sekat disiplin seninya. Ia bahkan juga bertindak menghilangkan batas-batas konvensi seni. Lalu melahirkan ’kesan antara’ benda seni dan bukan, menghilangkan perbedaan antara benda fungsi dan bukan, atau mencerai-berai status antara benda elite dan massal. Dalam pameran ini, 35 perupa (dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Solo, Bali, Surabaya) secara khusus mengolah benda-benda keluarga atau rumah tangga. Mereka boleh mengungkapkan ide-idenya dengan pendekatan yang berbeda. Hasilnya terlihat bahwa pendekatan parodi dan formalisme menjadi pilihan yang sering dipakai. Sehingga yang muncul di sana adalah kesan unik, kontekstual, sekaligus cerdas menyiasati ruang. Dengan begitu, Anda sebagai penonton disuguhi karya-karya yang memiliki spirit belajar dan bermain. Inilah perjalanan proses kreatif ‘baru’ dari refleksi budaya kontemporer. Dimana simplicity, dekonstruktif, interaktif, dan konseptual menjadi nilai investasinya.

11. ‘The Thousand Mysteries of Borobudur’ (20 April – 9 Mei 2007)

Sifat pameran: kelompok, undangan & kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta: Affandi, Daoed Joesoef, Srihadi Soedarsono, IGN Hening Swasono PH, Pius Sigit Kuncoro, Dani Agus Yuniarta, Ismail, Ismanto, Heri Purwanto, Toni Ja’far, Riduan, I Made Supena, Agung ‘Tato’ Suryanto, Andi Hartana, Arif Sulaiman, Cipto Purnomo, Eko ‘Kota’ Haryono, Endra, Erianto, Erizal AS, Gatot Indrajati, Ismed [SAJO], Mufi Mubaroh, Setiawan Nugroho, Setyo Priyo Nugroho, Ugy Sugiarto, Slamet ‘Soneo’ Santoso, Studio Samuan, M. Faizal R, I Gede Made Surya Darma, Marselli Sumarno, Jay Subiakto, Garin Nugroho, Sigit Ariansyah.

Merupakan pameran seni visual hasil kerjasama dengan UNESCO Office, Jakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Jogja Gallery, yang menggandeng mitra kerja Universitas Gadjah Mada [UGM] Yogyakarta, PT Taman Wisata Candi, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan Jogja Film Commission. Pameran yang dibuka Jumat, 20 April 2007, menandai bahwa Borobudur telah hidup kembali. Lewat tampilan-tampilan seni visual dari berbagai karya baik lukisan, patung, grafis, fotografi, video dan sebagainya sebagai sebentuk ‘saksi’ atas eksistensi Borobudur. Disamping itu pula, terselenggaranya pameran ini merupakan hasil kerja sama yang harmonis dari berbagai kalangan, baik swasta mau pun pemerintah guna lebih meningkatkan, mendukung dan mempromosikan pariwisata dan kebudayaan Indonesia, yang merupakan tanggung jawab semua pihak.

Dalam kaitan pameran ini, penyelenggara juga menggelar serangkaian program edukasi yang bekerja sama dengan berbagai pihak. Berbagai program edukasi tersebut akan difokuskan pada isu terkini perihal Borobudur dan warisan saujana yang melingkupinya. Program edukasi ini menjadi dianggap poin penting pula dalam rangkaian kegiatan ini oleh pihak penyelenggara, terutama UNESCO, sebagai salah satu bentuk pendidikan alternatif kepada kalangan akademisi untuk lebih mensosialisasikan berkaitan dengan banyak displin ilmu [sejarah, arsitektur, arkeologi, seni rupa, religi dan sebagainya] mengenai Candi Borobudur.

12. ‘Transposisi : Lukisan-lukisan Kolektor Jateng –DIY’ (22 Mei – 26 Juni 2007)Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Exhibition advisor: Dr. Oei Hong Djien
Kolektor peserta pameran: Alexander Ming, Butet Kertaredjasa, Bambang Soekmonihadi, Deddy Irianto, Deddy PAW, Harsono, Hasan Berlian/Siswanto HS, Nasirun, Oei Hong Djien, Oki Widiyanto, Rahadi Saptata Abra, Simon Tan Kian Bing, Soekeno, Sugiharto Soeleman.
Seniman peserta pameran: Affandi, Agus Kamal, Anthony David Lee, Anton Huang, Amri Yahya, Bambang Darto, Bagong Kussudiardja, Budi Ubrux, Erica Hestu Wahyuni, Fadjar Sidik, Gusti Alit Cakra, Gusmen Hariadi, Hardi, Handiwirman Saputra, Hendra Gunawan, Ivan Sagita, Liu Guoqiang, Lucia Hartini, Nashar, Otto Djaja, Pupuk Daru Purnomo, S. Soedjojono, Semsar Siahaan, Sugiyo Dwiharjo, Suatmadji, Tulus Warsito, Vincent van Gogh.
Melalui pameran ini diundang sejumlah kolektor. Mereka menampilkan koleksi mereka yang secara khusus mewakili tujuan dari aksi mengoleksinya. Mereka rata-rata tinggal di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY]. Memamerkan koleksi lukisan para kolektor, merupakan upaya Jogja Gallery untuk memberikan apresiasi kepada para kolektor, betapa kiprah mereka telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban seni rupa Indonesia. Sekaligus juga memberikan kesempatan kepada masyarakat umum, untuk memasuki ‘alam’ dunia koleksi, sehingga diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap pertumbuhan masyarakat kolektor.

13. Pameran seni visual Post-Kaligrafi - ‘Kalam dan Peradaban’ (7 Juli – 12 Agustus 2007)
Sifat pameran: kelompok, undangan
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta: Agus Kamal, Arahmaiani, AD. Pirous, Anwar Sanusi, Abay D. Subarna, Alperd Roza, Chusnul Hadi, D. Sirojuddin AR, Erna Garnasih Pirous, Hendra Buana, Is Hendri Zaidun, Ismanto, KH. Mustafa Bisri, M. Pramono Irianto, Meri Suska, Muhammad Zuhri, Nasirun, Nasrul, Rispul, Robeth Nasrullah, Sunaryo, Salamun Kaulam, Syahrizal Koto, Syaiful Adnan, Titarubi, Tulus Warsito, Yetmon Amier, KH. D. Zawawi Imron, Zulkarnaini.
Sepanjang masa, kaligrafi telah dikenal sebagai sebuah kebudayaan tersendiri. Kaligrafi mendapat tempat terhormat dalam perkembangan seni Islam, termasuk yang terjadi dalam bidang arsitektur sampai ke syair. Kaligrafi adalah dasar dari seni perangkaian titik-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya serta tidak pernah berhenti merangsang ingatan (dzikir) akan situasi hati.
Kaligrafi adalah sebutan yang mengarah pada penjelmaan perasaan seseorang, melewati huruf. Penjelmaan jiwa duniawi yang secara terus-menerus memberi pesan spiritual. Menurut Hossein Nasr, beberapa pokok penting dalam kaligrafi misalnya: pertama, mengenai hubungan atau pertalian asal seni ini antara Ali (wakil par excellece dari esoterisme Islam setelah Nabi) dengan beberapa tokoh spiritual Islam pertama yang dipandang sebagai kutub tasawuf dalam Islam Sunni serta imam-imam Syafi’i. Kedua, kaligrafi ditulis oleh tangan-tangan manusia yang terus dipraktikkan secara sadar sebagai emulasi manusia terhadap Tindakan Tuhan, meskipun “jauh dari sempurna”. Ketiga, kaligrafi tradisional didasari oleh sebuah ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk dan irama geometris yang tepat.

14. Pameran seni lukis Creative Drawing Exhibition - karya anak-anak siswa Global Art ‘Bersemangat Meraih Cita-cita’ (10 – 12 Agustus 2007)
Jika kita berbicara tentang pameran lukisan;, pastilah yang terlintas dalam benak kita adalah hasil karya seniman dewasa profesional, dengan seluruh sisi pandang seni dan pola pikir yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu. Atribut aliran; yang dikenakan pada lukisan pun beraneka ragam, seperti: aliran realis, surrealisme, abstrak, dan lain sebagainya.
Namun kapankah kita pernah melihat sebuah pameran lukisan hasil karya anak-anak? Global Art Jogja mengadakan sesuatu yang berbeda dari pameran biasanya, yaitu pameran karya anak; yang menampilkan lukisan siswa-siswi Global Art yang tentu saja sebagai anak-anak, mereka masih polos, naif, namun penuh semangat, disiplin, berdedikasi, dan potensial! Pameran tersebut akan dikemas dengan profesional, termasuk acara lelang lukisan untuk tujuan sosial, sehingga siswa-siswi dapat menjadi insan yang peduli dengan orang lain dan membanggakan orang tua mereka.
Tujuan pameran ini adalah kami mengarahkan aktivitas seni; sebagai jembatan siswa-siswi untuk menapaki kehidupannya. Satu langkah pertama yang penting namun (disayangkan) sering terabaikan adalah membuat CITA-CITA.

15. Pameran Seni Visual dalam rangka turut memperingati 200 Tahun Raden Saleh, dengan tema ‘Ilusi-Ilusi Nasionalisme’ (18 Agustus – 9 September 2007).Sifat pameran: kelompok, undangan & kompetisi terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Seniman peserta pameran: Abay D. Subarna, Ahmad Sobirin, AS. Kurnia, Astari Rasjid, Askanadi, Andy Wahono, Anang Asmara, Bambang Pramudiyanto, Bambang Sudarto, Budi Kustarto, KH. D. Zawawi Imron, Denny ‘Snod’ Susanto, Dadi Setiyadi, Dani Agus Yuniarta, Deni Junaedi, Dyan Anggraini Hutomo, Doel AB, Elyezer, Eddy Sulistyo, Eduard [Edo Pop], Eko Didyk ‘Codit’ Sukowati, Gatot Indrajati, Gusar Suryanto, Hanafi, Haris Purnomo, Heri Dono, Ivan Sagito, Imam Abdillah, Made Wiguna Valasara, Melodia, Mulyo Gunarso, Nana Tedja, Nanang Warsito, Nurkholis, Putut Wahyu Widodo, Pius Sigit Kuncoro, Pintor Sirait, R. Aas Rukasa, Riduan, Rosid, Ronald Manullang, Rudi Winarso, S. Teddy D, Samsul Arifin, Suraji, Suroso [Isur], Ugy Sugiarto, Willy Himawan, Wilman Syahnur, Yuswantoro Adi.

Pameran ini dilaksanakan dalam rangka turut menyemarakkan hari Kemerdekaan RI yang ke-62 dan memperingati eksistensi almarhum Raden Saleh Syarif Bustaman. Pameran yang diselenggarakan secara reguler oleh Jogja Gallery kali ini bersifat pameran kelompok, berskala nasional [diikuti oleh kurang lebih 40 perupa Indonesia] dan akan mengetengahkan karya-karya terkini perupa Indonesia yang mengambil inspirasi dari ikon seni Indonesia pertama yang berhasil mempengaruhi dan memperkenalkan Indonesia kepada dunia luar, yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman. Dalam pameran ini kami mengajak para perupa ternama Indonesia untuk secara khusus mencermati lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, bukan yang lain. Karena dengan lukisan ini semangat nasionalisme (oleh sebab itu pameran ini diselenggarakan pada bulan Agustus yang sakral bagi bangsa Indonesia), hendak diuji kembali, dikaji kembali dalam bentuk apa saat ini nasionalisme tersebut berjalan. Dalam beberapa hal, lukisan Raden Saleh ini juga memuat misteri yang tidak saja visual, namun juga dapat melahirkan lagi misteri dan ilusi-ilusi tentang berhagai hal yang lain. Dalam pameran ini juga dipamerkan reproduksi karya lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ yang merupakan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta [Gedung Agung].

16. Pameran Seni Visual 1st Anniversary of Jogja Gallery ‘Portofolio #1’
(19 September – 21 Oktober 2007)
Sifat pameran: kelompok, terbuka
Kurator: Mikke Susanto
Alexis, Andy Wahono, Antoni Eka Putra, Anthony David Lee, Arie Dyanto, AT. Sitompul, Catur Bina Prasetya, Denny ‘Snod’ Susanto, Deddy PAW, Didik Nurhadi, Dadi Setiyadi, Djoko Pekik, Donna Prawita Arrisuta, Erizal AS, Feri Eka Chandra, Hamdan, Hari Budiono, Heri Purwanto, KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno, I Gede Made Surya Darma, I Gusti Ngurah Udiantara, I Made Arya Palguna, I Made Supena, Iwan Effendi, I Wayan Cahya, I Wayan Sujana ‘Suklu’, I Wayan Sumantra, Januri, Luddy Astaghis, Mikke Susanto, M. Irfan, Made Wiguna Valasara, Muji Harjo, Mulyo Gunarso, Nanang Warsito, Nasrul, Nasirun, Nadiah Bamadhaj, Nico Siswanto, Niko Ricardi, Puji Rahayu, Riduan, Robi Fathoni, Saftari, Suraji, Syahrizal Zain Koto, Suroso [Isur], Wahyu Santosa, Wibowo Adi Utama, Yani Mariyani Sastranegara.

Pameran reportatif mengenai perjalanan pameran seni visual di Jogja Gallery sepanjang tahun 2007 sekaligus merayakan eksistensi 1 tahun berdirinya Jogja Gallery. Dalam pameran ini akan ditampilkan kembali karya-karya terbaru dari seniman-seniman yang pernah pameran di Jogja Gallery.


Tuesday, July 10, 2007

Sekitar Pencarian Bentuk Dalam Kaligrafi

Oleh KH. D. Zawawi Imron

Makalah disampaikan dalam diskusi pendukung
Pameran seni visual Post-Kaligrafi ’Kalam & Peradaban’

Tema: ’Lokalitas & Seni Kaligrafi di Indonesia’
Jogja Gallery, Yogyakarta, Minggu, 8 Juli 2007 / pukul 09.00 – 11.00 WIB

Bismillahhirrahmanirrahim

Makalah ini teramat sempit untuk memberikan gambaran sejarah kaligrafi Arab dengan
lika-liku perjalanan yang sangat panjang. Tetapi, yang patut dicatat bahwa sebelum Islam, huruf Arab yang berasal dari Hieroghlip. Kemudian dari era ke era menemukan bentuk yang dikenal sebagai khath kufi, bentuknya masih sangat sederhana, dan sulit dibaca oleh orang yang bukan Arab karena belum ada titik, dan belum memakai harakat seperti yang berkembang kemudian.

Kedatangan Muhammad Rasulullah SAW dengan kitab suci al-Quran telah membawa perubahan bagi penyempurnaan huruf Arab. Meskipun Muhammad seorang Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis), tetapi ia sangat menekankan betapa pentingnya kamum Muslimin untuk belajar membaca dan menulis. Musuh yang ditangkap dan menjadi tawanan perang, kemudian dibebaskan setelah berhasil mengajar anak-anak muslim membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar ummatnya dapat dengan mudah menulis dan mempelajari al-Quran.

Dari zaman pemerintahan Khulafaurrasyidin, kemudian zaman Bani Umayyah, sampai zaman keemasan kebudayaan Islam pada pemerintahan Daulat Abbasiyah, khath (kaligrafi) Islam semakin memenuhi syarat untuk menuliskan firman-firman Allah, bukan karena bentuknya yang semakin sempurna, tetapi lebih dari itu nilai keindahannya yang semakin tinggi. Keindahan irama bahasa yang penuh pesona pada al-Quran agaknya diusahakan tercermin pada kehalusan rasa para khathath (penulis huruf Arab) sehingga muncul bentuk-bentuk huruf Nasakhi yang jelaa dan manis, Tsulusi yang anggun, Riq`ah yang ekspresif, Diwani yang terbelit, Farisi yang berirama seolah-olah hendak roboh ke kanan, dan bentuk-bentuk yang lain.

Disamping untuk menulis ayat-ayat al-Quran, surat-surat administrasi pemerintahan, kitab-kitab agama dan kitab-kitab ilmu pengetahuan, hurup Arab juga dijadikan hiaan untuk memperindah mesjid. Sampai sekarang, dua mesjid yang paling bersejarah dalam Islam, yaitu Mesjidil Haram di kota Mekah dan Mesjid Nabawi yang terletak di jantung kota Madinah, kalau kita masuk ke dalamnya akan tampak adanya kaligrafi dengan nilai artistik yang tinggi yang isinya mengagungkan nama Allah

Setelah Islam masuk ke Indonesia, dengan sendirinya al-Quran juga menjadi bacaan utama kaum muslimin. Putera-puteri di kawasan Nusantara juga belajar baca al-Quran serat khat Arab. Kitab-kitab agama, cerita-cerita kepahlawanan serta hikayat dan dongeng juga ditulis dalam hurup Arab. Khat kitab-kitab berbahasa Melayu di Jawa disebut hurup Arab Melayu. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Malaysia dan Brunei hurup Arab itu disebut huruf Jawi. Pengiran Dr. Haji Muhammad bin Pengiran Haji Abd. Rahman menyatakan dalam Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2003, “Kesemua institusi dan dokumen (di Brunei Darussalam, Pen) menggunakan bahasa Melayu dan tulisan Jawi.” Yang dimaksud tulisan Jawi di sini adalah hurup Arab.

Sebelum hurup Latin masuk ke Indonesia menjelang abad ke 20, di Jawa, di samping hurup jawa, Huruf Arab digunakan untuk menuliskan karya-karya sastra. Tembang-tembang seperti “Serat Ambiya”, “Kisah Mi`raj”, “Riwayat Nabi Yusuf”ditulis dengan hurup Arab. Dan pada perkembangannya, khath Arab di Indonesia itu menemukan bentuk-bentuk yang khas. Dari naskah-naskah tua, baik tersimpan di beberapa museum, dan yang masih berada di tengah masyarakat ada bentuk-bentuk tertentu dan variasi Nasakhi-nya sangat kuat. Ada bentuk yang kaku namun artistik, dan ada yang meliut dengan lentur. Pada surat raja Lingga (Melayu) yang ditujukan kepada pejabat Belanda, atau surat beberapa Adipati di Madura yang ditujukan kepada Raffles, hurup yang digunakan ada sedikit kemiripan dengan khat Farisi, tetapi sudah menemukan bentuk yang sangat spesifik. Bentuk yang serupa itu juga digunakan untuk menuliskan terjamah (makna) kitab-kitab yang berbahasa Arab yang biasanya disebut “makna jenggot” karena bergantung ke bawah seperti jenggot.

Selain itu, hurup Arab digunakan sebagai hiasan mesjid, hiasan batu nisan, dan sebagainya. Sebagai hiasan rumah muncullah kaligrafi lukisan kaca Cirebonan. Ada bacaan zikir yang berbentuk Semar dan wayang lainnya, ada yang berbentuk harimau yang mengingatkan pada lambang Siliwangi

Lukisan kaca yang sebagian besar menampilkan kaligrafi kalimat-kalimat suci itu lalu berkembang di berbagai daerah bersama dengan gambar buraq, Mesjid al-Haram, Mesjid Nabawi, dan lain-lain. Kegiatan itu disambut oleh apresiasi masyarakat yang cukup terhadap seni Islam. Disayangkan, karena kualitas yang yang digunakan untuk lukisan kaca tidak tahan ratusan tahun, sekarang banyak lukisan kaca yang tinggal kacanya saja, lukisan sudah rusak dimakan zaman.

Menjelang abad kelima belas hijriyah, kegiatan berkaligrafi tidak hanya dilakukan oleh para khathath saja, tetapi juga oleh para pelukis. Pelukis kaligrafi tidak lagi menulis pada papirus, kertas dan dinding masjid, justru di atas kanvas dengan media cat minyak, akrilik atau media batik. Dari sinilah bermula lukisan kaligrafi.

Seorang seniman (dalam hal ini pelukis) adalah pengembara imajinasi dan pengembara ruhani yang tidak mengenal rasa lelah. Sebagai makhluk yang kreatif akan berupaya menampilkan bentuk-bentuk seni baru yang sebelumnya tak pernah ada di bumi ini. Karena itu, ia akan berusaha memacu daya khayal dan daya kreatifnya untuk menemukan sebuah puncak yang lain, tempat ia mengungkapkan esensi dirinya.

Dalam lukisan kaligrafi Islam, seorang Pelukis menemukan kebebasannya menuangkan imajinasinya melalui nuansa-nuansa warna yang kaya-raya, bahkan ditemukan pula bentuk-bentuk hurup Arab model baru yang berbeda dengan kaidah-kaidah penulisan yang telah baku sehingga tidak mustahil bila sesekali terdengar suara sumbang bahwa munculnya bentuk-bentuk hurup Arab model baru adalah penyimpangan, dan kejanggalan.

Pintu ijtihad kreativitas memang tidak pernah ditutup. Setiap pembaharuan dari hasil daya kreatif pada hakekatnya meninggalkan sesuatu yang sudah mapan, sedangkan matahari berputar dan zaman berjalan selalu menampilkan sesuatu yang baru.

Lukisan kaligrafi yang menggunakan media cat minyak di atas kanvas. Di samping itu Amri Yahya mencoba bereksperimen dengan media batik. Muncullah nama-nama seperti Ahmad Sadali, AD. Pirous, Amri Yahya, Amang Rahman, Syaiful Adnan, kemudia disusul oleh Abay D. Subarna, Yetmon Amier, Hatta Hambali, Hendra Buana, Sattar, Chusnul Hadi, dan lain-lain.

Menurut Soedarso Sp, seni lukis kaligrafi muncul setelah ada seni lukis abstrak, tidak ada gunung, pohon, dan langit, yang ada hanya garis, warna, tekstur, dan lain-lain. Di atas itu kaligrafi dilukiskan, yang tentu saja isinya disesuaikan dengan latar-belakang yang berupa lukisan abstrak itu untuk menjadi sebuah sajian komposisi yang padu. Disinilah imajinasi diberi ruang seluas-luasnya untuk menemukan nilai yang sangat berharga.

Dalam seni lukis kaligrafi, para pelukis berupaya menuangkan pengalaman spiritualnya dalam bentuk yang estetik seutuh mungkin. Ahmad Sadali tidak hanya menuliskan ayat-ayat al-Quran, lebih dari itu ia memadukan ayat itu dengan pengalaman spiritualnya dalam tekstur dan warna hasil renungan yang mendalam, seakan-akan warna dan tekstur itu abstraksi estetik dan batin sang Pelukis.

Amri Yahya menorehkan kaligrafinya di atas komposisi warna yang kadang ceria, tetapi pada saat yang lain dengan warna yang kelam biru kehijauan yang melukiskan kedalaman pengalaman ruhaninya.

Tidak kalah pentingnya upaya pelukis menemukan bentuk khath yang spesifik miliknya. AD. Pirous misalnya, selain ia menggunakan khath yang seperti dikembangkan dan khath Maghribi, ia juga berangkat dari khath yang bernuansa lokal, Aceh. Tetapi yang khas penemuan Pirous ialah bentuk hurupnya yang ekspresif yang sangat jelas sekali sosok kepribadiannya. Sayang sekali, dalam lukisan-lukisan Pirous yang saya amati, bentuk hurup ini tidak banyak digunakan.

Orang yang sangat percaya kepada bentuk khath-nya yang pribadi adalah Syaiful Adnan. Ia diciptakan bentuk hurup sendiri yang hampir tidak ada kaitannya dengan kaligrafi baku sehingga muncul khath gaya Syaiful. Ia membentuk ujung hurup-hurupnya runcing seperti duri dipadu jalinan dan kelindan antar-aksara engan sangat terampil dan teliti. Saking percayanya terhadap penampilan hurupnya yang mempribadi, ia merasa tidak perlu memainkan banyak warna. Lukisan-lukisan Syaiful rata-rata hampir monokrom.

Demikian pula Yetmon Amier yang hurup-hurupnya dikemas kubistik. Sumber khath-nya ditengarai dari khath Kufi, tetapi sudah dikembangkan sangat jauh dan digubah khusus untuk seni lukis sehingga bila diperhatikan jelas sekali sosok Yetmon-nya.

Hatta Hambali mengemas kaligrafinya dalam bentuk hurup yang terdiri dari pita panjang. Pita yang berupa hurup itu dilukis semi realis sehingga menjadi suatu yang otentik.

Tidak kalah otentiknya ialah Amang Rahman yang membuat hurup begitu unik. Ada permainan bayangan dan cahaya, serta titik yang dilukis menjadi lubang atau bolongan yang sangat dalam. Hal itu ditunjang dengan suasana biru yang menampilkan kesan mistis dan puitis.

Pada saat yang akan datang, bentuk-bentuk khath yang menjadi milik pribadi para pelukisnya perlu semakin digalakkan. Dan, untuk menemukan kepribadian dalam khath itu perlu perjuangan dan pencarian kreatif yang tidak kunjung lelah. Rasa taqarrub kepada Allah bisa menjadi spirit karena menorehkan kaligrafi tak lain sebagai tanda-tanda cinta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya.

Tetapi, yang penting untuk dijadikan bahan renungan, apakah lahirnya karya seni dalam bentuknya yang baru itu berangkat dari getar kepekaan estetik atau tidak? Bila tidak lahir dari getar tali-temali rasa yang paling dalam, maka hasilnya tidak akan menyentuh. Tetapi, bila benar-benar lahir dari getaran estetik dan kemudian dicelup dengan sibghah (celupan) Allah, maka jadinya akan menjadi lukisan kaligrafi yang punya daya pesona tinggi yang tiada bosan-bosannya mata memandang. Penyair Iqbal berucap dalam salah satu penggalah sajaknya :

Dari manakah irama seruling mendapat kemerduan?
Dari getaran hati sang peniup, bukan dari potongan bambu
(Darb-l Khalim)

Pada hakekatnya, lukisan kaligrafi adalah ungkapan rasa religius seorang pelukis ke atas kanvas dengan bentuk hurup dan permainan warna yang mencerminkan kepribadian dan kedalaman jiwa pelukisnya. Penghayatan yang sepenuhnya terhadap hurup-hurup yang hendak digoreskan, penguasaan terhadap bidang dan warna benar-benar memancar dari suatu konsep penciptaan yang utuh.

Lukisan kaligrafi yang bermutu akan mampu membawa penikmatnya pada kesadaran transedental bahwa diatas dikehidupan ini, ada yang sangat dekat dan akrab dengan diri, yang rahmat-Nya selalu mengalir tiada henti, yaitu Allah.


Monday, June 18, 2007

Borobudur Impasto-nya Anthony




Oleh Nunuk Ambarwati dan Puji Rahayu
Borobudur Agung
Menemui sosok Anthony David Lee, perupa kelahiran Manado, 2 Juni 1964 merupakan seseorang yang lebih dikenal sebagai jagoan masak. Mengaku memiliki keahlian melukis yang dia peroleh secara otodidak. Anthony yang saat ini tinggal di Denpasar, Bali ini sempat menggelar aksi melukis dalam sebuah jamuan makan malam, di lapangan Gunadharma, kompleks wisata Candi Borobudur, pada hari Rabu, 30 Mei 2007 lalu menjelang peringatan Hari Raya Trisuci Waisak 2551 BE/2007. Aksinya ini merupakan prakarsa Muncul Art and Culture Center yang digawangi oleh Soekeno [direktur UD Muncul, Yogyakarta] bekerja sama dengan Jogja Gallery [JG], Yogyakarta. Menampilkan corak impresionistik dengan teknik impasto [menumpuk cat di atas kanvas]-nya, Anthony melukis Candi Borobudur secara langsung, dengan media cat minyak di atas kanvas ukuran 980 x 280 cm. Lukisan sebesar itu, yang kemudian bertajuk ‘Borobudur Agung’ berhasil dia selesaikan hanya dalam rentang waktu 1 jam 40 menit saja.
Sebelum menggelar aksinya tersebut, Anthony sempat melukis bersama dengan Kartika Affandi di Museum Affandi, Yogyakarta. Hal tersebut dia lakukan sebagai bentuk partisipasi memeriahkan 100 Tahun Affandi yang bertepatan di tahun ini. Dua karya berhasil diselesaikannya, masing-masing tak lebih dari setengah jam saja. Dengan tema Affandi sebagai Barong dan Affandi sebagai Rangda. Dua lukisan tersebut rencananya akan turut dipamerkan di akhir Juni 2007 ini dalam sebuah pameran menandai eksistensi sang maestro.
Matahari sebagai ikon lukisan yang melekat pada Affandi menginspirasi sangat kuat pada diri dan lukisan-lukisan yang dihasilkan Anthony. Disamping warna, semangat dan goresan Affandi yang menginspirasinya, nuansa mistis biru tua pada karya seri Borobudur-nya Srihadi Soedarsono ternyata juga turut mengilhami karya Anthony. Untuk lebih menyiapkan penguasaan materi, tema dan keahliannya guna aksi pada malam 30 Mei 2007 yang lalu, hampir tiap malam dia menggoreskan banyak tube cat minyak dalam beberapa kanvas dengan tema Borobudur di kediaman Soekeno, sebagai studionya di Soragan, Yogyakarta.
Dengan latar belakang Candi Borobudur yang mistis malam itu, dihadiri kurang lebih 50 tamu undangan, terdiri dari para kolega dan para jurnalis. Jamuan makan malam diselingi musik mengantar Anthony menyelesaikan karya besarnya. Segera setelah Anthony merampungkan aksi melukisnya, dia menyempatkan untuk mendeskripsikan maksud lukisannya kepada para undangan. Lukisan yang dia hasilnya menurutnya belum selesai, dia mengundang semua orang yang melihat karyanya kemudian menyelesaikannya dalam hati dan pikiran masing-masing. Dia ingin mengajak masyarakat Yogyakarta untuk merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi, misalnya bencana alam gempa bumi [dimana tahun ini merupakan peringatan 1 tahun gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya]. Dengan adanya peristiwa itu, jangan selalu menyalahkan Tuhan. Seharusnya berpikir lebih cerdas, dan harus banyak belajar, segala sesuatu itu bisa terjadi mungkin kebanyakan karena dari kelalaian kita sendiri, seperti kurang peduli terhadap alam yang ada di sekitar kita, yang sebenarnya telah memberi kita kehidupan, keindahan, kekayaan yang melimpah. Saatnya kita untuk sadar dengan hal itu.
Yang menjadi keprihatinan Anthony lainnya adalah banyak orang yang tidak tahu, tidak sadar bahwa kita punya peninggalan yang amat luar biasa, seperti Candi Borobudur. Keberadaanya belum begitu diperhatikan, padahal ini adalah peninggalan yang amat luar biasa. Banyak orang yang tidak tahu tentang sejarah maupun maknanya. Ini menunjukkan bahwa orang-orang banyak yang belum bisa menghargainya. Sejak melihat Candi Borobudur, Anthony sangat kagum, dia terus membaca dan mencari tahu dari berbagai sumber sebelum dia tertarik untuk melukiskannya.
Borobudur bagi Anthony adalah sebuah bangunan yang sangat indah, cantik dan sangat kokoh. Sesuatu yang luar biasa, mempunyai nilai spiritualitas yang tinggi dan baik dari ukuran, bentuk mau pun keberadaanya. Dia mengatakan kekagumannya tersebut ketika melihat sendiri peristiwa yang terjadi dihadapannya. Seperti manusia yang selalu berubah, peradaban yang berubah bencana yang membuat semua kehidupa dan alam berubah, tapi Borobudur tetap kokoh. Kekaguman ini sangat kuat dirasakan oleh Anthony, semua direkam dalam memorinya dan diwujudkan dalam bentuk lukisan yang dikerjakan hanya dalam beberapa saat.
“Karya ini universal, dimana disana ada matahari dan bulan. Matahari terinspirasi oleh Affandi yang bersinar, mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai maestro. Bulan terinspirasi oleh perupa Srihadi Soedarsono. Terdeskripsikan orang sedang berdo’a artinya kita harus bersyukur kepada Tuhan. Tidak terus meminta kepada Tuhan, tapi harus lebih banyak belajar dan terus belajar serta waspada. Bencana yang digambarkan merupakan peringatan bagi kita”, jelas Anthony.
Meski batal tercatat masuk di Museum Rekor Indonesia [MURI] sebagai lukisan paling banyak [berat] menggunakan cat minyak, para tamu undangan merasa kagum dengan karya yang dihasilkan Anthony. Banyak komentar atas karya spektakulernya, terasa luar biasa dan indah. Bahkan KGPH Hadiwinoto, yang hadir pada malam itu, mengatakan karya ini mengandung nilai spiritual yang tinggi dan agung. Karya Anthony bisa memberi peringatan pada manusia, dimana manusia sebenarnya adalah makhluk yang lemah dan perlu menjalankan hidup dengan terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia harus terus menuju jalan kebenaran dan terus rendah hati dihadapan-Nya, meminjam pepatah orang Jawa yang mengatakan dalam hidup perlu memayu hayuning bawana, jelas Gusti Hadi.
Karya tersebut kini menjadi koleksi pribadi Soekeno dimana saat ini terpajang dan bisa dinikmati dalam pameran yang dikuratori Mikke Susanto, ‘Transposisi: Lukisan-lukisan Koleksi Kolektor Jateng-DIY’, digelar Jogja Gallery [JG], Yogyakarta, 22 Mei – 26 Juni 2007.

Si Misterius Anthony
Selama masa tinggalnya di Yogyakarta kala itu [kurang lebih 2 minggu], Anthony sangat aktif melukis setiap harinya. Dalam aktifitasnya melukis, Anthony lebih mengedepankan sisi entertainmen. Dengan senang hati dia persilakan kita melihat proses menyelesaikan lukisannya. Dia juga tak keberatan kita ‘mendikte’-nya untuk melukiskan satu obyek dalam kanvas kosongnya. Selama proses melukis, dia banyak menyertakan guyonan-guyonan yang menyegarkan, entah berhubungan dengan obyek lukisan mau pun kadang tidak sama sekali. Dia pun selalu akan mengakhiri lukisannya dengan mendeskripsikan setiap detail apa yang dia goreskan di kanvas tersebut. Mengapa ada burung, mengapa ada matahari, mengapa warnanya kuning atau biru dan seterusnya. Hal tersebut sangat jarang bisa kita temui dari perupa-perupa lain. Bagaimana seorang perupa menutup diri, menemukan momen yang tepat, mengisolasi diri guna berkonsentrasi menyelesaikan karya dan seterusnya. Situasi langka yang bisa dihadirkan Anthony tersebut di atas, memberikan kejutan-kejutan yang menarik bagi publik awam akan dunia seni lukis.
Maka tak mengherankan ketika pengamat seni sekaligus kolektor ternama, Dr. Oei Hong Djien mengomentari karya-karya Anthony yang lebih tepat sebagai pengisi ruang, dekoratif yang bersifat mengindahkan. Tak lebih dari itu.
Bagi Anthony sendiri, situasi berkarya dengan dilihat banyak orang tak menganggunya menyelesaikan karya. Meski konsekuensi atas situasi tersebut jelas terbaca pada lukisan yang dia hasilkan. Ketika banyak komentar yang ‘mengintimidasi’ otaknya, dimana situasi yang selalu berbeda mengurangi kenyamanannya dalam berkarya, atau bahkan dikte-dikte yang memberi masukannya, jelas terbaca pada kualitas karya.
Buat Anthony, kegiatan melukis juga merupakan salah satu terapi baginya. Dimana menurut pengakuannya pada malam peringatan hari ulang tahunnya yang ke-43, dia merupakan sosok yang hiperaktif, dimana ide dan gagasannya selalu berkembang. Dokter yang menanganinya menyarankan untuk sedikit mengurangi sisi hiperaktifnya apabila dia ingin hidupnya menjadi lebih baik.
Satu hal lain yang menarik darinya adalah gaya melukisnya. Dibantu dua orang asistennya, Putu dan Kadek, bertube-tube cat bisa dia habisnya dalam satu kali melukis. Biasanya Putu yang akan memplototkan tube cat di atas kaca dan Kadek yang terus mendokumentasikan tahap-tahap Anthony melukis, mulai dari goresan pertama hingga tanda tangan sebagai tanda akhir dia melukis. Tak heran dokumentasi aksi-aksi melukisnya dimana pun, bahkan di rumah orang-orang penting di Republik ini, sangat detail dan lengkap, bisa kita lihat di laptop yang selalu dibawanya.
Anthony juga sangat mengedepankan kebersihan dalam aksi melukisnya. Disamping bertube cat yang dia habisnya, berlembar-lembar tisu juga wajib tersedia ketika dia melukis. Setiap kali selesai menggoreskan satu warna dengan ‘spatula’-nya, dia seka spatula tersebut dengan tisu hingga bersih. Anthony mengaku, warna-warna murni dari tube cat lebih dia sukai daripada mencampur warna. Meski pun kadang memang ada sedikit warna-warna campuran yang dia hasilkan untuk memberi aksen tertentu pada lukisannya.
Meski penulis sempat mengikuti aksi-aksi melukis Anthony, kemisteriusan background-nya masih selalu menjadi tanda tanya. Siapa sih Anthony? Masih merupakan pertanyaan besar yang selalu membayangi. Dia tak pernah bisa serius mengatakan siapa dirinya sebenarnya, bagaimana dia mendapatkan keahlian melukis, atau kronologi pameran dan prestasi berkaryanya. Meski tak pernah serius menjawabnya, tidak demikian ketika dia menjelaskan setiap detail karyanya. Untuk hal yang satu ini, dia selalu menjawab dengan ‘tak penting perupanya, yang penting adalah karyanya'.