Tuesday, September 29, 2015

Di Balik Selubung ‘Image’ Jeans



Jeans memang menawarkan kenyamanan fisik maupun rasa percaya diri untuk konsumennya. Kainnya tahan lama, relatif murah, enak dipakai, hangat di musim penghujan dan tetap sejuk di musim panas – tidak mudah longgar dan tidak mudah terlihat kotor. Lebih dari itu, jeans memiliki warna yang sangat netral sehingga bisa dipadu dengan segala warna. Bahkan konsumen anak muda sering menggosok jeansnya sampai kusam/belel dengan alasan mode.


Pesona jeans begitu dahsyat, karena selain efektif sebagai pakaian, jeans bisa dipermak, dihias, disobek-sobek. Memang, jeans menawarkan gaya dimana setiap orang bisa tampil beda seperti apa yang diinginkannya: bisa terlihat feminine, maskulin, bersahaja, riang, demokratis, egaliter. Seorang desainer muda Paris, John Galliano mengatakan bahwa satu-satunya garmen terpenting di setiap masa adalah jeans.


Jika ditilik lebih dalam lagi, jeans merupakan ekspansi budaya “leluhurnya”, yaitu Amerika yang identik dengan citra demokrasi, menghargai hak asasi manusia dan perbedaan – berwawasan ke depan. Dan jeans memang dapat ditemui dimana saja – dari pelosok pedesaan – pertambangan emas Afrika Selatan – pegunungan Andes, Peru – hutan-hutan Kongo – sampai di catwalk Milan atau New York. Jika jeans telah dipakai oleh manusia seantero bumi bukankah ini sebuah bentuk usaha menyeragamkan manusia? Dan bukankah ini bertolak belakang dengan citra jeans yang demokratis dan menghargai perbedaan manusia.


Citra atau image bisa saja membius konsumen, tetapi praktek perluasan penjualan produk punya logika sendiri yang mensahkan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan alam. David Ransom, seorang penulis mengatakan bahwa “sifat dari suatu benda bukan semata-mata citra yang ditawarkan, melainkan fakta yang ada di baliknya”. Ada baiknya untuk menyimak kembali bahan baku dan pembuatan jeans.


Jeans berbahan dasar katun yang diperoleh dari hamparan perkebunan katun yang menutupi hampir 5% permukaan bumi. Dibanding tanaman lain, pohon kapas memerlukan pestisida lebih banyak yang berarti kadar racunnya lebih tinggi. Untuk menjadi kain, kapas harus diolah dengan berbagai macam campuran zat kimia. Zat beracun dalam jumlah besar dihasilkan oleh industri tekstil untuk proses pencelupan telah menyebabkan polusi udara, tanah dan air yang sangat parah. Sebagian kota New Mexico dilaporkan telah hancur akibat ekstraksi batu apung yang digunakan untuk “stone wash”.

Industri jeans juga banyak melibatkan pekerja wanita muda yang dibayar sangat rendah, terutama di negara Guatemala, Bangladesh, atau di daerah perdagangan kain kaum imigran di kota Los Angeles, New York, Toronto, Sydney, London bahkan merambah ke Cina pada waktu itu. Harry Wu, seorang aktivis hak asasi manusia Amerika mengatakan bahwa “apa yang berkembang di Cina adalah iklim bisnis, tapi kenyataannya pelanggaran hak asasi manusia semakin parah, pekerja paksa masih dipakai, tak ada organisasi buruh independen, dan siapapun yang mencoba mengorganisasi buruh akan dijebloskan ke kamp-re edukasi”.


Tentunya ada produk jeans yang peduli terhadap hak asasi manusia salah satunya Levi Strauss & Co. Perusahaan Levi’s pernah membatalkan kontrak produksinya di Birma dan Cina karena ada pelanggaran hak asasi manusia. Juga saat perusahaan ini mengetahui kontraktornya di Bangladesh memperkerjakan anak-anak, perusahaan ini menawarkan pendidikan pada mereka. Disamping itu ada produk jeans ramah lingkungan, yang terbuat dari rami buatan Rumania, seperti misalnya produk jeans Hemp Union. Inspirasi pemakaian bahan ini berasal dari asal muasal jeans yang awalnya terbuat dari rami dan serat-serat yang tidak membutuhkan pestisida. Namun penggunaan rami untuk jeans kerap dihadang oleh kampanye anti narkotika, karena rami adalah bahan dasar marijuana. Untuk mengantisipasi hal ini, Hemp Union menulis di setiap produknya: ‘Jika Anda merokok kain ini, Anda hanya merasa pusing. SAVE THE PLANET’.


Membeli produk dengan kesadaran keadilan sosial dan cinta lingkungan nampaknya belum menggejala pada konsumen Indonesia yang mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan tentang proses pembuatan produk. Tetapi gerakan budaya macam ini mutlak diperlukan agar kesejahteraan sosial manusia dan lingkungan alam bisa terselamatkan.


Sumber: Ransom, David. “Jeans: the big stich-up Fooled by false labels, David Ransom sets off in pursuit of the politically correct pair”. New Internationalist, Issue 302, June 1998.


Artikel ini dimuat di Majalah [aikon!] edisi 96, November 1998, halaman 6.

No comments: